Nicky Sinten

Senin, 28 April 2014

Nenekku Sayang



Kisah nyata ini bener-bener kualami. Terjadi sekitar enam tahun silam saat usiaku menginjak 28 tahun. Aku terjerat hubungan percintaan yang panas membara dengan nenekku sendiri. Walau berstatus nenek tapi wanita yang satu ini bukannya sudah tua atau keriput. Orangnya cantik, putih dan lemah lembut, makanya diusia yang sudah menginjak 40 tahun, nenekku ini masih terlihat seperti wanita berusia 30 tahun. Maklum sebagai wanita dalam keluarga kaya, tidaklah sulit untuk merawat diri termasuk senam. Oya.. nama nenekku ini Elsa. Dalam tingkatan keluarga aku mesti memanggilnya nenek karena suaminya adalah adik kakekku. Kakekku berumur 55 tahun jadi berjarak 15 tahun dengan nenek.
Kumulai kisahku saat setelah berpisah dari istriku, aku meninggalkan rumah dan tinggal ditempat kost. Karena kesibukan pekerjaan, aku baru bisa jalan-jalan mengunjungi saudara di hari Sabtu dan Minggu termasuk dirumah kakek dan nenek Elsa. Setelah sekian lama tidak berkunjung, kedatanganku diterima dengan suka cita. Mungkin juga mereka ingin menghiburku setelah perceraianku. Akupun tambah sering berkunjung bahkan sudah mulai sering menginap karena kebetulan ada kamar yang kosong. Bisa ditebak kenapa aku jadi betah dirumah itu. Karena nenekku yang cantik sangat ramah melayaniku. Kadang saat bangun pagi sudah dihidangkan sarapan khusus buatku.

Aku lebih sering menginap apalagi kalau masuk kerja midle jadi aku ada kesempatan berlama-lama dengan nenekku Elsa. Kakekku berangkat pagi-pagi sekali, sementara kedua anak mereka sekolah di Singapura. Cuma tinggal pembantu saja. Suasana seperti ini kumanfaatin untuk bercengkerama dengan nenek cantik bahenol ini. Walau pikiran kotorku suka menggelayut ketika melihat kecantikan nenek, tapi aku selalu mengesampingkan karena nenek sangat baik dan sopan. Selama menginap aku mulai memperhatikan keanehan di rumah. Aku sering bertanya dalam hati kenapa koq kakek dan nenek tidurnya di kamar terpisah? Tapi pertanyaan itu Cuma menggelayut dibenak karena aku tidak berani bertanya.

Sampai kemudian disuatu pagi saat pembantu sedang kepasar, aku memberanikan diri bertanya.
"Nek, kenapa sih nggak tidur sekamar dengan kakek?" tanyaku.
Nenekku sedikit terdiam sejenak.
"Itulah kakekmu.," tiba-tiba nenek tersedu tidak bisa menahan emosinya.
Aku jadi tidak enak hati.
"Andy, kamu bisa nyimpen rahasia nggak?" tanya nenekku disela isaknya.
"Bisa nek" jawabku.
"Kakekmu itu punya kelainan, dia lebih tertarik kepada laki-laki. Kakek pernah kepergok bawa laki-laki muda kerumah ini, bahkan Aku mergokin mereka lagi bermesraan di kamar, siapa yang nggak kesel", Nenek terdiam.
"Tolong jaga rahasia ini ya, aku malu kalo ketahuan orang. Sudah lama aku pengen cerita tapi aku nggak ada teman ngobrol, please jangan cerita siapa-siapa ya," pinta nenekku.

Semenjak saat itu keinginan yang terpendam dalam diriku selalu menyeruak. Apalagi setelah mengira-ngira kalau wanita yang berpostur mirip penyanyi sexi Connie Constantia ini pasti kesepian. Tapi sikap sopan nenek membuatku menaruh hormat. Sampai kemudian di suatu pagi ketika pembantu sudah ke pasar, tinggal aku dan nenek. Saat aku lewat kamar nenek yang terbuka sedikit kulirikkan mataku. Woowww.. berdebar dadaku. Kulihat di dalam kamar nenek membelakangi pintu dalam keadaan polos tanpa sehelai benangpun. Kayaknya baru selesai mandi. Ada sekitar 10 detik aku terpanah dan saat tersadar aku bergegas ke dapur. Di pikiranku mulai mengira-ngira, apakah nenek sengaja memancingku. Namun pikiran itu kucoba kesampingkan.

Saat kembali kearah kamar aku berpapasan dengan nenek yang sudah berganti pakaian. Ada sesuatu yang lain pagi ini. Nenek berpakaian agak seksi dengan kaos U can See plus rok pendek.Yang pertama kuperhatikan adalah nenek tanpa memakai BH. Ohh.. diam-diam aku bergidik membayangkan tubuh seksinya.
"Tumben ada apa nih koq seksi banget," sapaku.
"Emangnya nggak boleh" sahutnya.
"Bukan nggak boleh, kenapa nggak dari dulu berpakaian seperti itu, kan cantik sekali, kayak anak kuliahan," ujarku sedikit menggoda.
"Ahh, Andy bisa aja, emangnya aku masih cantik?" timpalnya manja.
"Siapa sih yang nggak tertarik melihat kecantikan nenek? Aku aja tertarik banget tapi sayangnya nenekku sendiri", jawabku memuji ditambah kata-kata menggoda.

Naluriku sebagai lelaki sejati mulai memberontak mengalahkan moral dan kesopanan. Apa salahnya aku menikmati tubuh indah didepanku? Apa salahnya aku memberi kepuasan seorang wanita yang lagikesepian? Toh aku nggak punya hubungan darah langsung dengan wanita cantik ini, batinku berkecamuk. Tanpa bisa ditahan si Mr. Happy mulai menunjukkan 'amarah'nya. Di balik celana pendek, kucoba mengatur posisinya yang mulai menonjol kencang. Ahh aku sedikit resah. Nafsu mulai mengalahkan segala akal sehat dan moral.

Mungkin dilandasi naluri kelelakian yang mulai naik atau rasa ingin memuji, ataupun nafsu yang mulai membara, tanpa kusadari tanganku merangkul pundak nenek seraya mengelus-ngelus pangkal lengan.
"Nenek cantik sekali," gumamku pelan.
"Eit, jangan nakal. Tapi Andy mau kan kalo Cuma kita berdua yang ngobrol jangan panggil aku nenek, panggil aja Elsa ya," pintanya.
"Iya nek, ehh Elsa," bisikku ditelinganya.
Ternyata bisikan itu berefek sangat cepat karena nenek menggelinjang kegelian.
"Ihh kamu tuh, bikin aku merinding, dah lama nih nggak disentuh jadi jangan macam-macam," kata nenek.
Justru komentar seperti itu membuat aku semakin berani bertindak lebih.
"Emangnya kalo macam-macam kenapa?" kataku sambil mencolek pinggul bahenol milik nenekku yang cantik itu.
"Ahh Andy bisa aja, aku kan sudah nenek-nenek dan nggak menarik lagi?" ucapnya lirih.
Aku tahu kalau ucapannya tadi memndakan hati seorang wanita yang ingin dipuji.
"Mau dengar yang jujur? Elsa antik sekali, sangat mubasir kalo wanita secantik ini disia-siain. Emang kakekku tuh orang bego, mahluk seindah ini dibiarkan nganggur," sahutku ditambah jurus-jurus rayuan maut.

Sekonyong-konyong entah dari mana datangnya keberanianku, kutarik tubuh nenek dan kupeluk. Tanpa perlu menunggu komentarnya aku sudah langsung mencium bibirnya. Bibirnya yang merekah kucium bertubi-tubi. Ada sedikit perlawanan penolakan karena mungkin kaget. Tapi nggak berselang lama perlawanan tadi jadi tanpa penolakan lagi. Bahkan nenek mulai 'melawan' dengan kulumannya. Bibirnya yang merekah tadi mulai terbuka lebar. Lidahku mulai dipilinnya. Kami saling hisap lama karena nenek ternyata pintar sekali berciuman. Selama berhubungan dengan banyak wanita, belum pernah aku merasakan ciuman panas seperti ini.

Sekitar 10 menit kami berciuman, seakan nggak mau terlewatkan setiap sudut bibir dan mulut. Kuberanikan tangan mengelus pahanya yang putih mulus. Nenek sedikit menggelinjang. Ujung jari kusapukan dari jari kakinya dan merayap keatas perlahan. Wanita dipelukanku semakin terbungkus nafsu yang kuciptakan. Dengan tetap menjelajahkan bibirku di bibir dan lehernya, telapak tanganku meraba kulit pahanya bagian dalam. Nenek menggelinjang dahsyat. Kudorong tubuh nenek ke sofa dipojok ruang tamu. Kuangkat kaos U can see pink dan aku tertahan menatap buah dada putih yang menggantung indah. Walau tak terlalu besar namun dua gundukan putih bersih itu ditambah puting yang tidak terlalu besar membuat nafsuku semakin liar. Nenek bersandar pasrah dengan apa yang aku lakukan dan hanya bisa mengerang penuh nafsu. Kami melakukan tanpa kata-kata. Hanya sorot mata penuh keinginan yang terpancar ketika kami bergumul.

Perlahan kusisipkan jariku dari balik celana dalamnya. Dan tanpa dikomando jari tengahku langsung menjelajah bibir vagina yang sudah banjir. Nenek kembali menggelinjang. Dipeluknya aku erat-erat sambil bibirku masih mengulum putingnya. Ketika jari kumasukkan mencari sasaran klitoris dan G-spot, nenek semakin menggelinjang. Kulihat nenek sepertinya mau sampai puncak. Kucoba kendalikan suasana dengan memperlambat tempo permainan jari. Nenek seperti kecewa namun nggak berani berkata-kata. Hanya matanya yang kelihatan meminta untuk melanjutkan. Dengan sedikit rasa kasihan melihat penantian wanita ini, kuloloskan celana dalam nenek dan masih di sofa kukangkangkan kakinya. Nenek bagai dicocok hidung menuruti apa yang kulakukan. Uhh.. rambut hitam lebat menutupi segumpal daging yang sudah basah memerah. Perlahan bibirku kudaratkan kebibir bagian bawah itu. Dengan lihainya kujulurkan lidahku menjelajah klitorisnya.
"Ahh.. Andy," nenek merintih, "Enak.. enak, kamu hebat sekali," gumam nenek.
Kupercepat gerakan lidahku menelusuri setiap sudut vagina nenekku yang cantik. Cuma sekitar lima menit sejak kujilati kemaluannya, badan nenek kemudian mengejang. Aku hapal sekali ritme wanita seperti ini. Nenek pasti mau mencapai puncak. Kugigit klitorisnya dan tiba-tiba meledaklah emosi nenek. Nenek Elsa meronta-ronta sambil menekan kepalaku yang semakin terbenam diselangkangannya.
Dan, ."Ahh..," nenek melenguh panjang tanda orgasme.
Badannya lemas terkulai di sofa.

Namun permainan belom berakhir karena nenek belom melakukan sesuatu buatku. Mungkin karena keenakan atau lupa, tadi nenek tidak melakukan kegiatan apapun selain menciumku. Walaupun itu kurasa nggak adil karena permainan cuma satu arah namun kubiarkan saja karena aku paham nenek sudah lama tidak melakukan ini jadi mungkin terlambat bereaksi karena keenakan hehehe. Kuloloskan celana pendekku. Punyaku yang sedari tadi tegak didalam celana, langsung menunjuk kearah muka nenek.
"Wow, besar sekali," komentar nenek disela nafasnya yang masih memburu.
Tanpa menunggu berkomentar lagi kutempelkan si Mr happy ke bibir mungil nenek. Dan semua batang langsung masuk kemulut. Dengan rakusnya nenek mengulum dan sesekali menjilat punyaku. Oh.. enak sekali. Aku merem-melek dibuatnya. Semua sisi batang kemaluanku tak luput dari sapuan lidahnya yang dahsyat. Kupikir, bodoh banget kakekku menelantarkan wanita cantik yang ahli seperti ini.


Aku bener-bener dibuat keenakan sama nenekku tercinta ini. Tanpa kata-kata kuajak nenekku merasakan yang indah-indah. Kutelentangkan nenek di sofa krem ruang tamu ini, kusingkapkan rok mininya dan aku mengambil posisi diatas tubuh bahenol ini dengan posisi 69. Posisi kwesukaanku ketika ML dengan wanita siapa saja. Kusibakkan rambut lebat dan labia mayoranya kuseruput dengan perlahan. Nenek Elsa menggelinjang kemudian balas mengulum Mr Happy-ku. Ohh.. enaknya. Nenekku ini bener-bener lihai mengulum dan mengisap. Belom pernah aku merasakan sensasi sedahsyat ini. Namun lagi enak-enaknya mengeksplorasi gaya 69 tiba-tiba pintu pagar depan berderit. Terlihat Bi Imah memasuki pekarangan. Dengan gerka cepat kami berbenah seperti tidak terjadi apa-apa.

Sialan nanggung banget! Persetan dengan segala norma. Kutarik tangan nenek ke lantai atas, ke kamarku.
"Nggak enak Ndy, nanti ketahauan Imah," nenek coba menolak, namun kuseret mengikuti langkahku.
"Pasti Bi Imah nggak curiga, lagian dia pasti mikirnya nggak ada apa -apa, wong nenek sama cucunya," kataku menggoda.
Pinggulku dicubitnya, "Awas kamu ya.. kamu emang bandel ya Ndy.. masak nenekmu sendiri kamu perlakukan seperti ini," katanya.
"Tapi Elsa suka kan?" jawabku.
"Ohh.. suka banget soalnya terus terang aku sudah dua tahun ini tidak berhubungan badan, tidak pernah disentuh lagi sama kakekmu," nenek menjelaskan.
"Sebelumnya aku pernah berhubungan dengan teman kakekmu, tapi nggak enak karena sudah loyo. Itupun cuma sekali dan aku nggak pernah mau lagi," kata nenek lirih.

Sesampai di kamarku, kukunci pintu dan langsung memeluk nenek.
"Jangan berisik ya Ndy," ujar nenek.
Aku menjawabnya dengan meloloskan kaos nenek. Tubuhnya yang putih mulus dengan buah dada semangkuk yang menantang. Aku bener-bener nafsu melihat nenekku yang sexi ini. Tanpa menunggu kucopot juga rok pendeknya. Karena sudah nggak bercelana dalam, pemandangan indah langsung terhampar didepanku. O ya, sebetulnya aku bisa dikategorikan udipus complex karena lebih tertarik dengan wanita yang usianya melebihi aku, apalagi kalo sudah beristri. Klop deh! Nenekku ini terlalu cantik untuk kunikmati.

Tubuh padat dari wanita beusia 40 tahun ini bener-bener sempurna. Idamanku. Tinggi sekitar 165 cm dengan punggung yang bersih, pinggul padat, paha berisi, betis bunting padi dan kaki yang rapi terurus. Wajahnya jangan ditanya, sempurna sebagai seorang wanita. Dengan rambut yang di cat agak pirang dan sedikit melewati bahu bener-bener indah dipandang. Nenekku ini emang masih ada darah Jermannya. Perlahan nenek Elsa melangkah ke arah cermin besar disebelah tempat tidurku. Dia berlenggak lenggok seperti peragawati.
"Aku masih cantik nggak sih Ndy?" tanyanya sedikit berbisik.
Tanpa menjawabnya kupeluk dia dari belakang. Aku yang juga sudah polos tanpa pakaian langusng bersentuhan kulit. Uhh.. Mr Happyku yang tadi nanggung langsung tegak menempel pinggul bahenol. Nenek kemudian berbalik dan kami berciuman lagi. Lama dan erat. Perlahan kudorong dia ke tempat tidurku. Kami melanjutkan posisi 69 yang tadi terganggu.
"Ndy, kamu jilatnya enak banget deh," seruak nenek disela kegiatannya mengisap punyaku.
"Elsa juga enak banget ngisapnya," sahutku.
Kurasakan nenek bergetar setiap kuseruput klitorisnya.

Tiba-tiba nenek menghiba, "Ndy..please masukin punyamu ya? Aku nggak tahan nih pengen ngerasain, dah lama nggak dimasukin, paling-paling aku gesek sendiri pake jari," pintanya.
Akupun mengambil posisi diatas tubuh sintal ini dan kembali mencium bibir indah. Tangan nenek memegang punyaku dan menuntun ke bibir vaginanya. Basah kalau tidak dibilang banjir. Dengan sedkit menekan, kudorong Mr Happyku memasuki area basah tadi. Walau agak sedikit kesulitan karena pembengkakan labia mayora namun bless, akhirnya masuk juga. Nenek menggelinjang dan menjerit kecil.
"Kenapa Elsa?" tanyaku.
"Aku sudah lama nggak ngerasain kayak gini," sahutnya disela erangan.
Kupompa pinggulku dengan ritme yang pasti, naik turun. Nenek juga menggoyangkan pinggulnya seirama, naik turun. Tapi kadang pinggulnya nakal merobah ritme dengan memutar. Ahh asiknya. Dengan posisi aku diatas, beberapa kali aku leluasa merobah posisi. Kuangkat kedua kaki tinggi-tinggi dan meletakkan dibahuku. Dengan posisi ini terasa sekali gigitan vaginanya.
"Ndy, enak bener.. terima kasih Ndy, kamu berani memulai tadi, aku sebetulnya juga suka membayangkan kamu tapi aku nggak berani memulai, kamu kan cucuku. Ohh makasih ya Ndy, aku senang banget," cerocos nenek Elsa, rame.

Kali ini kuselonjorkan kaki kirinya sementara kaki kanannya masih menyampir dipundakku. Dengan berlutut kutekan Mr Happy memenuhi vaginanya. Dengan penuh tenaga kugenjot keluar masuk. Nenek Elsa mengerang, namun dengan sedkit menahan suaranya, takut ketahuan Bi Imah. Kali ini kutelungkupkan dan ohh pantatnya yang besar berisi -tapi bukan gemuk-itu kuciumi. Kubuka paha belakangnya lebar-lebar dan kembali kumasukkan punyaku. Blepp.. dan kuenjot keluar masuk. Posisi seperti terasa enak buat Mr Happyku, juga enak buat nenek. Buktinya nenek Elsa kelojotan. Kemudian kuangkat pinggulnya dan dengan gaya dogie style ketekan dalam-dalam punyaku ke vaginanya yang terasa kian berdenyut.

Puas dengan posisi itu aku kembali memulai dari awal. Kuciumi kakinya, mulai dari ujung jari, menelusuri betisnya, ke paha dan singgah sebentar di vaginanya kemudian menyusur perut, naik sedikit ke buah dada, ke leher dan bermuara di bibirnya yang indah. Nenek Elsa kulihat merinding.
"Uhh enaknya kamu bener-bener membuat sensasi yang sangat berlebihan," gumam nenek.
Kali ini aku ngambil posisi telentang dan kuajak nenek untuk naik keatasku. Rupanya nenek sangat senang dengan posisi ini. Buktinya, dengan lincahnya dia nangkring diatas tubuhku dan Mr Happyku sudah menancap dalam-dalam divaginanya. Dan tanpa dikomando nenek sudah naik turun laksana kuda liar. Dia mengeksplor goyangannya keatas ke bawah, kesamping, memutar dan.. uhh aku bener-bener keenakan.

Nenek bener-bener layaknya anak kecil yang dapat mainan baru. Semuanya gaya dicobain. Terkadang punggungnya membelakangiku. Terkadang dia berjongkok. Pokoknya semua yang bisa dicobanya. Kali ini aku Cuma bisa pasif dan sesekali memnggoyangkan pinggulku atau memilin putingnya. Sengaja kubiarkan nenek bereksperimen sendiri. Aku ngerti banget kalo nenek Elsa bener-bener mau meluapkan keinginan yang terpendam.
"Dua puluh tahun kawin dengan kakekmu aku belom pernah merasakan permaian seperti ini. Biasanya kakekmu dulu kalo udah naik, cuma 2 menit udah keluar, payah. Aku pernah nyoba selingkuh dengan temen kakek ternyata sama saja.. cuma sebentar sudah keluar.. payah juga. Sudah lama aku berangan pengen main dengan lelaki muda, pengen merasakan sentuhan lelaki muda, tapi aku nggak berani, takut. Aku nggak berani memulai. Banyak temen-temenku yang nyoba jasa gigolo tapi aku nggak tertarik karena takut kenapa-kenapa. Makanya aku kaget waktu kamu godain aku tadi..padahal sih aku sudah membayangkan bisa seperti ini sama kamu tapi nggak berani mulai," lagi, cerocos nenek Elsa seakan menumpahkan isi hatinya dengan posisi tetap naik turun diatasku.

Tiba-tiba badan nenek mengejang. Aku merasakan itu. Aukupun langsung beraksi, kubalas goyangannya lebih dahsyat. Kuangkat tinggi-tinggi pinggulku dengan nenek tetap berada diatasku, kemudian tiba-tiba kujatuhkan.. ahh enaknya.
"Ndy,.. aku mau keluar.. Ndy aku mau.. Ndy," gumam nenek.
Kupercepat goyang pinggulku mengikuti irama goyangannya. Bener-bener kuda binal yang buas neneku ini, batinku. Tiba-tiba, "Ahh.. aku.. aku.. ke.. luuaarr.. ahh.. ohh.. ohh enaknya.. sayangku.. ohh.. indahnya," teriak nenekku tertahan.
Badannya berkelojotan kedepan dan kebelakang, kemudian mencengkeram pundakku dan selanjutnya tersandar didadaku dengan nafas tersengal. Nenek Elsa sudah merasakan orgasme yang sensasional.
"Ohh.. seumur hidup ini pertama kali aku mengalaminya, makasih ya Andy sayang," bisiknya ditelingaku.

Lama nenek mengatur nafas sambil terbaring diatas tubuhku.
"Elsa.. gantian dong aku juga pengen keluar..," kataku sedikit menggoda.
"Ohh.. ya.. kamu belom ya.. sampe lupa," sahutnya pelan.
Kami bertukar posisi, aku diatas dan Elsa di bawah, tanpa mencopot punyaku. Nenek Elsa membuka lebar-lebar pahanyamulusnya. Aku semakin bernafsu melihat kemulusan tubuhnya. Kuenjot pinggulku cepat, naik turun. Ada sekitar lima menit kucoba merangkai sensasi dengan MR Happyku yang mulai berdenyut.
Dan seperti lahar panas membara yang sudah mau menyembur, aku berbisik "Elsa.. aku mau keluar."
"Ayo sayang.. semprot sayang.. semprot yang kuat sayangku.. sudah lama aku menginginkannya," sahutnya sambil tetap menggoyang pinggul.
Elsa berkelojotan lagi. Dan wuaahh.. akupun menyemburkan sperma panas kedalam liang vagina nenekku. Aku mengejang! Namun disela kesadaran yang mulai hilang aku lihat nenek merem-melek dan kembali mengejang. Rupanya kami sama-sama keluar. Nenek mengeluarkan cairan kenikmatan untuk kesekian kalinya. Dan kamipun terdiam. Hanya nafas memburu yang berbicara. Aku masih menelungkup diatas tubuh nenenku tanpa mencopot punyaku, karena aku ingin merasakan sensasi pasca ejakulasi. Denyut Mr happy dan vagina yang beradu seakan jadi sensasi tersendiri.

Kami berpelukan dan saling mengecup. Peluh mengucur dimana-mana padahal kamarku ber-AC. Namun dengan peluh itu semakin menyatukan tubuh kami. Sejak itu aku jatuh cinta dengan nenekku yang cantik ini. Sejak kejadian itu aku tinggal menetap dirumah kakek-nenek. Dan mulai saat itu pula petualangan cinta kami lakukan, hampir tiap hari, tiap ada kesempatan. Kadang bangun tidur nenek sudah nongkrongin aku ditempat tidurku dengan memegang-megang punyaku. Kadang di sofa, di kamar mandi, di dapur, dimana saja setiap ada kesempatan berdua dan aman. Aku sering jadi sopir nganterin nenek kemana aja, karena disetiap kesempatan aku pasti diisepnya. Bahkan terkadang kami melakukan dikamar nenek yang bersebelahan dengan kamar kakek. Yang pasti dengan mengecilkan volume suara.

Sejauh ini kakek nggak curiga. Bahkan sampai saat ini aku masih tinggal dirumah itu dan masih melakukan aktifitas sex dengan nenek sexiku tanpa sepengetahuan kakek. Sejauh ini aman-aman saja. Aku bener-bener jadi suami nenek, menggantikan fungsi seksual kakekku yang doyan lelaki.Dan aku ketagihan, bahkan tidak kepikiran untuk kawin lagi karena kebutuhan sexualku terpenuhi.

Ataukah mungkin kakekku sudah tahu tapi membiarkan karena kakek juga pengen menikmati kehidupan seksualnya dengan lelaki-lelaki muda kesukaannya. Aku nggak tahu. Namun setelah pengalaman seksual yang indah bersama nenekku ini, aku ketagihan bermain cinta dengan wanita STW. Aku bahkan kemudian menggilir dua saudara perempuan nenek dan dua sepupunya. Yang pasti tanpa sepengetahuan nenek.

TAMAT

Minggu, 27 April 2014

pelampiasan Dr.Nasti



Aku menjadi dokter yang terpilih mewakili organisasi proyek perbaikan gizi masyarakat di suatu kepulauan. Tempat aku bekerja jaraknya hanya satu jam pelayaran dan terletak dalam satu propinsi dengan tempat tinggal kami. Atas persetujuan suami, kami berpisah dan setiap dua minggu aku pulang ke rumah.

Sepeninggalku, ternyata suamiku menunjukkan dirinya sebagai gay. Dia mempunyai pemuda simpanan teman tidur dan pemuas sex. Selama aku dinas di kepulauan, pemuda itu beberapa kali dibawa pulang menginap di rumah. Untuk menyembunyikan sikapnya, sehari-hari teman gaynya disimpan di luar, disewakan rumah. Kejadian ini memukul perasaanku. Segala upaya untuk menyadarkan suamiku ternyata tidak membawa hasil.

Aku membawa kedukaanku di pulau dengan cara melayani masyarakat setempat. Untuk mengisi kekosongan waktu, aku
buka praktek sebagai dokter umum. Suatu hari ketika jam praktek hampir usai, seorang pasien laki-laki tegap berkumis dan bercambang datang minta agar diperiksa. Ia memperkenalkan namamanya Hamid. Keluhannya sering pusing.

“Silakan Pak Hamid naik ke tempat tidur biar saya periksa”.

Segera aku memeriksa pernafasan, tekanan darah dan lain-lainnya. Ketika tanganku memegang tangannya yang berbulu lebat, ada perasaan canggung dan geli. Sewaktu Pak Hamid pamit, dia meninggalkan amplop biaya pemeriksaan. Ternyata isinya melebihi kewajaran tarip seorang dokter umum.

Hari berlalu, ketika suatu malam saat aku akan mengunci kamar praktek, dihadapanku telah berdiri Pak Hamid.

“Dokter, apakah masih ada waktu untuk periksa saya ? Maaf saya datang terlalu malam karena ada pekerjaan tanggung”.

Aku kaget karena kehadirannya tanpa aku ketahui. Dengan senyum geli aku membuka kembali ruang praktek sambil mempersilakan masuk.

“Dok, saya tidak mempunyai keluhan. Hanya saya ingin tahu apakah tekanan darah saya normal”.

Demikian Pak Hamid mengawali pembicaraan.

“Saya bisa tidur nyenyak setelah makan obat dokter”.

Sambil memerika, kami berdua terlihat pembicaraan ringan, mulai dari sekolah sampai hobi. Dari situ aku baru tahu, Pak Hamid telah dua tahun menduda ditinggal mati istri dan anak tunggalnya yang kecelakaan di Solo. Sejak saat itu hidupnya membujang. Ketika pamit dari ruang praktekku, Pak Hamid menawarkan suasana santai sambil menyelam di kepulauan karang.

“Dok, panoramanya sangat indah, pantainya juga bersih lho”.

Aku setuju atas tawaran itu dan Pak Hamid akan menyiapkan perlengkapan yang diperlukan.

Dalam speed boath yang menyeberangkan kami, hanya berisi aku, Pak Hamid dan pengemudi kapal. Sesampainya disana, aku merasa canggung ketika harus berganti pakaian selam di hadapan laki-laki. Tapi aku juga belum tahu cara mengenakan pakaian selam jika tanpa bantuan Pak Hamid. Terpaksa dengan pakaian bikini aku dibantu Pak Hamid memakai pakaian renang. Tangan kekar berbulu itu beberapa kali menyentuh pundak dan leherku. Ada perasaan merinding.

Tanpa terasa kegiatan menyelam menjadi kegiatan rutin. Bahkan pergi ke tempat penyelaman sering hanya dilakukan kami berdua, aku dan pak Hamid. Semakin hari jarak hubungan aku dengan Pak Hamid menjadi lebih akrab dan dekat. Kami sudah saling terbuka membicarkan keluarga masing-masing sampai dengan keluahanku mengenai suamiku yang gay. Dia tidak lagi memanggilku Bu Dokter, tapi cukup namaku, dik Nastiti.

Musim barat hampir tiba, kami berdua di tengah perjalanan ke tempat penyelaman. Tiba-tiba datang hujan dan angin sehingga gelombang laut naik-turun cukup besar. Aku mual, sehingga kapal dibelokkan Pak Hamid ke arah sisi pulau yang terlindung. Kami turun ke pantai, duduk di bangunan kayu beratap rumbia tempat para penyelam biasa istirahat sambil menikmati bekal. Hanya ada dua bangku panjang dan meja kayu di tempat itu. Angin kencang menyebabkan tubuh kami basah dan dingin. Aku duduk mepet ke Pak Hamid. Aku tidak menolak ketika Pak Hamid memelukku dari belakang. Tangan berbulu lebat itu melingkar dalam dada dan perutku. Dekapan itu terasa hangat dan erat. Aku memejamkan mata sambil merebahkan kepalaku di pundaknya, sehingga rasa mabuk laut mulai reda.

Sebuah kecupan ringan melekat di keningku, kemudian bergeser ke bibir, aku berusaha menolak, tapi tangan yang melingkar di dadaku berubah posisi sehingga dengan mudah menyusup dalam BHku. Tiba-tiba badanku terasa lemas saat jari tangan itu membuat putaran halus di puting susuku. Bibir berkumis lebat itu menjelajah ke bagian sensitip di leher dan belakang telingaku. Persasaan nikmat dan merinding menjalar dalam tubuhku. Bibir itu kembali bergeser lambat menyusur dagu, bergerak ke leher, pundak dan akhirnya berhenti di buah dadaku. Aku tidak tahu kapan kaitan BH itu terbuka. Dorongan kuat muncul di vaginaku, ingin rasanya ada benda bisa mengganjal masuk.

Tangan kekar itu akhirnya membopongku dan meletakkan di atas meja kayu. BHku telah jatuh di atas pasir, mulut dan tanggan Pak Hamid bergantian menghisap dan meremas kedua gunungku, kanan kiri. Aku bagaikan melayang, kedua tanganku menjambak rambut Pak Hamid. Kepalaku tanpa terkendali bergerak ke kanan dan kiri semakin liar disertai suara eluhan nikmat. Oooohhhhh……oohhhh… ooooohhhh……aauuhhhhhh. Kedua tangannya semakin kencang meremas buah dadaku. Mulutnya bergeser perlahan ke bawah menelusur pusar…….. terus….vaginaku. Ahhh…… husss……. ahh…… aahhhhhh.

Ketika mulut itu menemukan klitorisku, jeritanku tak tertahan Auh..h…h… aahhh….. husss….. sebuah benda lunak menyeruak bibir vaginaku. Bergerak perlahan dalam usapan halus serta putaran di dinding dalam, membuatku semakin melayang. Tanpa terasa eranganku semakin keras. Untuk menambah kenikmatan, aku angkat tinggi pantatku ke atas. Ingin rasanya benda itu masuk lebih dalam. Tapi aku hanya memperoleh dipermukaan. Ooohhhh……..haahh…… haaahh…huuu……………. t..e…r…u….s…..se..se..se..dikit…atas. Ooohhh…….aahhh ……….. Sebuah hisapan kecil di klitorisku memperkuat cengkeraman tanganku di pinggir meja. Hisapan itu semakin lama semakin kuat…. kuat dan kuat….. menjadikan kenikmatan tak terhingga…. memuncul denyutan orgasme. Otot-otot disekitar vaginaku mengejang nikmat dan nikmat sekali. Sesekali nafasku tersengal aaa………..hhhhhh……………huuu…………..aahhhhh….aahhhh……… aaaahhhhhhhh……. ahhhh…… huhhhhhhh…ehhhhhh. Denyut itu menjalar dintara pangkal paha dan pantat ke seluruh tubuh. Orgasme yang sempurna telah aku dapatkan. Puncak kenikmatan telah aku rasakan.

Lemas sekujur tubuhku, aku ingin dipeluk erat, aku ingin ada sebuah benda yang masih tertinggal dalam vaginaku untuk mengganjal sisa denyutan yang masih terasa. Tapi aku hanya menemukan kekosongan. Tangan-tangan berbulu itu dengan pelan membuka kembali pahaku. Kedua kakiku diangkat diantara bahunya. Kemudian terasa sebuah benda digeser-geser dalam vaginaku. Semula terasa geli, tapi kemudian aku sadar Pak Hamid sedang membasahi penisnya dengan cairan kawinku. Seketika aku bangun sambil menutup kedua kakiku. Aku mendorong badannya, dan aku menangis. Sambil membuang muka aku sesenggukan. Kedua tanganku menutup dada dan selangkangan. Pak Hamid tertunduk duduk dibangku menjauhi aku. Ia sadar aku tidak mau dijamah lebih dari itu. Sambil menelungkupkan badan di meja, tangisku tetahan. Pak Hamid mendekati dan dengan lembut ia membisikkan kata permintaan maaf. Diapun menyorongkan BH serta celana dalamku. Aku tetap menangis sambil menutup muka dengan kedua tanganku. Akhirnya pak Hamid pergi menjauh menuju kapal mengambil bekal.

Kami duduk berjauhan tanpa kata-kata. Sekali lagi Pak Hamid mengajukan permintaan maaf dan berjanji tidak mengulang kejadian itu. Ia menyerahkan botol air mineral kepadaku.

“Maafkan aku dik Nastiti, aku khilaf, aku telah lama tidak merasakan seperti ini sehingga aku khilaf. Aku minta maaf yah, aku harap kejadian ini tidak mengganggu persahabatan kita. Yuk kita minum dan makan siang, terus pulang”.

Aku merasa iba pada Pak Hamid. Ternyata dengan tulus dia masih bisa menahan syahwatnya. Padahal bisa saja memaksa dan memperkosaku.

Kesadaranku mulai pulih, emosiku mereda. Aku mulai berpikir pada kejadian tadi, bukankah aku telah terlanjur basah saat ini ? Bukankah bagian dari kehormatanku telah dijamah Pak Hamid ? Bukankah tubuhku yang paling sensitif telah dinikmati Pak Hamid ? Apa artinya mempertahankan kesucian perkawinan ? Bukankah aku tidak pernah menikmati rasa seperti ini dengan suamiku ? Bukankah aku telah kawin dengan seorang gay ? Yah aku telah diusir dari rumahku oleh teman gay suamiku. Tapi itu bukan salah suamiku. Ia terlahir dengan kelainan jiwa. Ia menjadi gay dengan menanggung penderitaan. Ia terpaksa memperistri aku hanya untuk menutupi gaynya. Aku ingin merasakan kenikmatan, tapi aku tidak ingin jadi korban, aku tidak ingin punya anak dari hubungan ini dengan Pak Hamid.

Keberanianku mulai muncul. Aku melompat dan memeluk Pak Hamid. Kelihatan Pak Hamid ragu pada sikapku sehingga tangannya tidak bereaksi memelukku. Aku bisikan kata mesra.

“Pak, aku kepingin lagi, seperti tadi, tapi aku minta kali ini jangan dikeluarkan di dalam”.
“Maksud dik Nastiti….. ”

Sebelum dia menyelesaikan kata-katanya, tanganku meraba ke penisnya. Kemudian tanganku menyusup dalam celana renangnya. Sebuah benda yang tidur melingkar, tiba-tiba bangun karena sentuhanku…

”Tapi jangan dikeluarkan di dalam ya Pak….”.
“Terima kasih dik….”.

Senyum Pak Hamid berkembang. Kembali aku didekap, aku dipeluk erat oleh kedua tangan kekar. Aku benamkan mukaku di dada bidang berbulu.

Tanpa komando aku duduk di atas meja sambil tetap memeluk Pak Hamid. Aku diam, mataku terpejam ketika pelan-pelan aku direbahkan di atas meja. Satu persatu pengikat BHku lepas sehingga tampaklah susuku yang masih sangat padat lengkap dengan putingnya yang berwarna coklat kemerahan dan sudah berdiri dengan pongahnya. Kedua tangannya meraih dadaku, mulut hangat menyelusur gunungku, perlahan-lahan bergeser ke bawah, semakin ke bawah gerakkannya semakin liar. Gesekan kumis sepanjang perut membuatku menegang. Aku pasrah ketika celana dalamku ditarik ke bawah lepas dari kaki sehingga kini aku sudah benar-benar bagaikan bayi yang baru lahir tanpa sehelai benangpun yang menutupi tubuhku. Mulut hangat itu kembali bermain lincah diantara bibir bawahku yang ditutupi rambut-rambut kemaluan yang berwarna hitam legam dan tumbuh dengan lebatnya disekeliling lubang kawinku dan clitorisku terasa sudah mengeras pertanda aku sudah dilanda nafsu kawin yang amat menggelegak.

Kenikmatan kembali menjalar di rahimku. Auh….e.e.e.e.e.e.e…..haaah…haaah…haah. Auhhhhsss…… aku mengerang. Pak Hamid sambil berdiri di tepi meja mengusapkan benda panjang dan keras di klitorisku. Aa……hhhh…..uhhh.. jeritan kecil tertahan mengawali dorongan penis Pak Hamid menyusup vaginaku. Pantatku diangkat tinggi dengan kedua tangannya ketika benda itu semakin dalam terbenam. Tanpa hambatan penis Pak Hamid masuk lebih dalam menjelajah vaginaku. Dimulai dengan gerakan pendek maju mudur berirama semakin lama menjadi panjang. Nafasku tersengal menahan setiap gerak kenikmatan. Aaah….ahh…..ahh…….haaaa……………………..haassss…….
Entah berapa lama aku menerima irama gerakan maju mundur benda keras dalam vaginaku. Aku telah merasakan denyut orgasme. Auuuuuuuuhhhhh………… Jeritan dan cengkeraman tanganku di pundak belakang penanda aku mencapai puncak orgasme. Gerakan benda itu dalam vaginaku masih tetap berirama, tegar maju mundur dan membuat gesekan dengan sudut-sudut sensitif. Tiba-tiba irama gerakan itu berubah menjadi cepat, semakin cepat….. suara eluhan Pak Hamid terdengar dan otot vaginaku kembali ikut menegang, yah… aku mau kembali orgasme… aaahhhhhhhhhhhh……. aahhhh…. Tiba-tiba benda dalam vaginaku ditarik keluar. Semprotan cairan hangat mengenai pahaku dan meleleh di atas meja. Pak Hamid mencapai puncak kenikmatan. Pak Hamid memenuhi janjinya, tidak mengeluarkan cairan mani dalam vaginaku. Aku lemas…..lemas sekali seperti tidak bertulang. Aku didekap lembut dan sebuah ciuman di kening menambah berkurang daya kekuatanku.

Tiga tahun kemudian setelah kejadian di pulau itu, aku telah menikmati hari-hari bahagiaku. Aku sekarang telah menjadi nyonya Hamid. Di pelukanku ada si mungil Indri, buah hati kami berdua. Setelah perceraian dengan suamiku, satu tahun kemudian aku menikah dengan Pak Hamid. Mantan suamiku mengirim berita ia sekarang sekolah di Australia. Tapi aku tahu semua itu hanya kamuflase, seperti dalam pengakuannya lewat telepon, mantan suamiku menetap di Sydney agar dapat memperoleh kebebasan menjadi kaum gay

mbak Lastri kakak sepupuku



Aku seorang laki-laki berumur 29 tahun dan sudah berkeluarga dengan satu anak. Saat ini aku tinggal di daerah pinggiran Jakarta dan berdekatan dengan kakak sepupu perempuanku.

Kakak sepupu perempuanku itu namanya Lastri, aku biasa memanggilnya Mbak Lastri. Usainya sekitar 35 tahun dan sudah mempunyai 3 anak. Mbak Lastri mempunyai badan sedikit besar tapi enak dilihat, kulitnya hitam manis dengan rambutnya yang dipotong pendek. Mbak Lastri orangnya sangat terbuka, kami sering mengobrol tentang hal-hal sex.

Sebenarnya sudah dari dulu aku sangat terobsesi untuk bisa menikmati tubuh Mbak Lastri meskipun dia terhitung masih saudara dekat, tapi entah kenapa keinginan itu tak bisa aku bendung bahkan kian hari semakin besar saja. Tapi semuanya itu hanya sebatas khayalan saja karena untuk berterus terang, pada saat itu aku rasakan sangat tak mungkin.

Sebenarnya keluarga Mbak Lastri pada saat itu sedang mengalami masalah karena suaminya ternyata kawin lagi dan telah mempunyai anak, suaminya pun sangat jarang ada dirumah, hal itu aku ketahui dari Mbak Lastri sendiri ketika dia mampir ketempat kerjaku untuk sekedar mengobrol.

Aku sangat suka cara berpakaian Mbak Lastri, dia selalu memakai pakaian yang ngepas di badan hingga lekuk-lekuk tubuhnya sedikit tergambar, bentuk pantat dan payudaranya yang menonjol membuatku semakin tergila-gila.

Suatu ketika waktu Mbak Lastri datang ketempatku, aku sedang sendiri karena satu anak buahku sedang nagih sedangkan yang dua pergi ke proyek. Saat itu aku sedang iseng main komputer.

"Sendirian aja Cen, yang lain pada kemana?" Tanyanya sambil melangkah masuk lalu duduk tak begitu jauh dari tempatku.
"Iya nih Mbak, yang lain lagi pada keluar. Dari rumah apa dari mana Mbak?" Jawabku sambil melihatnya.

Saat itu Mbak Lastri memakai baju semi kaos yang agak ketat sedangkan celana bahannya menempel ketat.

"Dari rumah, sengaja kesini, pusing dirumah melulu, lagi ngapain Cen?" Matanya memandang ke arah layar monitor komputer yang memainkan video clip musik, padahal sebelumnya aku sedang menonton BF.
"Lagi iseng aja Mbak," Aku melirik padanya, dan terlihat teteknya membusung karena dia duduk dengan menyandarkan punggungnya di kursi.
"Eh Cen kalau komputer bisa nggak buat nyetel film vcd?" Mbak Lastri bertanya.
"Ya bisa dong, apalagi film BF, bisa banget. Eh.. Mbak Lastri udah pernah belum nonton BF," Kuberanikan diri memancing pembicaraan yang agak ngeres.
"Ya pernah dong, kemarin aku baru nonton di rumah Bu Bambang, dia punya banyak lho vcd BF, kadang-kadang aku pinjem buat distel di rumah, tapi aku kurang begitu suka yang dibuat-buatnya keterlaluan, aku sukanya yang apa adanya," Jawabnya.

Ternyata Mbak Lastri doyan juga nonton BF, ini kesempatan buatku, untungnya aku punya banyak file porno di komputerku hasil dari ngedownload dari internet.

"Terus kalau habis nonton Mbak Lastri kepengen gituan gimana?, kan suami Mbak Lastri sekarang jarang di rumah,"
"Ya pusing lah terus uring-uringan apalagi kalau inget suamiku lagi ngelonin yang lain makin panas aja, paling-paling ya usaha sendiri aja,"
"Usaha sendiri gimana Mbak?" Tanyaku pura-pura nggak ngerti.
"Ya usaha sendirilah dari pada nggak ada pelampiasan. Ah kamu pura-pura nggak tahu. Eh Cen kamu punya nggak film gituan,"

Ahirnya tanpa kutawari Mbak Lastri malah meminta, ini yang aku tunggu-tunggu, nonton film porno bareng Mbak Lastri pasti asik, adapun akhirnya bagaimana aku tak memikirkannya yang penting tahap awal terlalui.

"Banyak Mbak, Mbak Lastri mau yang kaya gimana?" Aku menantangnya.
"Kalau ada sih yang pemainnya orang biasa-biasa aja yang bukan bintang film porno" Kata Mbak Lastri seperti menawar.
"Wah kayaknya selera kita sama Mbak, justru yang yang biasa-biasa aja yang banyak, soalnya saya juga nggak suka yang terlalu dibikin-bikin," Kataku mengiyakan keinginannya.

Kemudian ku buka file film pornoku, aku pilih yang ku anggap bagus lalu ku jalankan di komputer. Terlihat di layar seorang wanita seumuran Mbak Lastri dengan bentuk tubuh yang sepertinya juga sama sedang merayu lelaki muda. Setelah beberapa saat, dan film yang kustel semakin hot ku lihat Mbak Lastri begitu menikmati. Mbak Lastri menarik kursi yang didudukinnya agar lebih dekat ke layar monitor, yang berarti tubuh Mbak Lastri juga semakin mendekat pada tubuhku bahkan nyaris bersinggungan. Aku semakin menikmati keadaan yang terjadi meskipun saat itu aku tetap menunggu situasi ideal seperti yang aku impikan selama ini.

"Nah film seperti ini yang Mbak Lastri Suka, eh.. Cen gedein dikit dong volumenya, nggak enak kalau nggak denger suaranya," Pinta Mbak Lastri.

Aku menuruti keinginannya yang padahal keinginanku juga, semakin asyik rasanya kalau mendengar wanita mendesah-desah menikmati persetubuhan. Diluar hujan mulai turun hingga menambah semakin erotisnya saat itu.

"Mbak Lastri, saya sudah nggak tahan nih," Akhirnya aku beranikan diri untuk memulai.

Mbak Lastri tak menjawab hanya kulihat dia menarik nafas resah matanya tak lepas dari adegan yang terjadi di layar monitor.

"Enak kayaknya yah kalo lagi begituan aku diperlakukan seperti itu. Suami Mbak Lastri sih nggak pernah deh kayak gitu, biasanya langsung tancap aja, sebentar lalu udahan, tinggal aku yang pusing sendiri," Mbak Lastri berkata ngedumel, badannya selalu bergerak-gerak resah tak mau diam, mungkin hal itu berarti Mbak Lastri sudah terkontaminasi hal-hal erotis seperti juga yang kualami akibat dari adegan-adegan penuh nafsu yang kami tonton.

Sampai pada akhirnya tanganku kujamahkan pada tangannya, kuremas pelan sambil menunggu reaksinya. Setelah aku tahu tidak ada penolakan, lalu tangannya kubimbing ke arah pangkal pahaku dan kuletakan diatas kemaluanku dengan posisi telapak tangan Mbak Lastri menghadap kebawah dalam keadaan seperti akan mencengkram kemaluanku berharap Mbak Lastri melakukannya sendiri. Karena tidak tahan, tanpa menunggu lagi akhirnya kuremas-remaskan tangan Mbak Lastri pada kontolku.

Tapi apa yang terjadi selanjutnya, Mbak Lastri malah memasukan sendiri tangannya kedalam celanaku dan meraih isinya lalu meremas dan sesekali mengocok batang kontolku, ku rasakan juga ibu jarinya kadang-kadang mengelus-elus kepala kontolku terasa agak geli tapi semakin menambah tinggi libidoku. Dalam situasi seperti itu aku tak mau tinggal diam, ku tarik tubuh Mbak Lastri agar semakin dekat hingga seperti berpelukan dengan posisi tubuh Mbak Lastri agak miring didepan tubuhku, tanganku mulai meremas-remas teteknya dari luar bajunya. Setelah puas dari luar, kumasukan kebalik bajunya dan meremasnya meskipun masih tertutup BH.

Akhirnya tanganku menelusup ke balik BH nya, kurasakan sesuatu yang empuk dan kenyal terpegang. Aku meremasnya dengan agak geregetan, kuremas-remas teteknya bergantian kiri dan kanan tak lupa pentilnya kupelintir-pelintir. Nafas Mbak Lastri ku dengar semakin menderu sedangkan tangannya tetap meremas-remas kontolku, tapi kontolku sekarang sudah berada di luar karena Mbak Lastri telah melepas kancing dan menurunkan seleting celanaku.

"Cen kalau ada orang gimana?" Mbak Lastri bertanya dengan terdengar agak khawatir.
"Tenang aja Mbak anak-anak paling cepet sore nanti baru pulang, udah gitu kan lagi hujan," Aku coba menentramkannya.
"Kita pindah ke kamar aja yuk!" Mbak Lastri akhirnya mengajaku untuk pindah ke kamar yang terletak di ruangan sebelah, tempatku beristirahat kalau siang sedangkan kalau malam dipakai untuk tidur anak-anak.
"Ayo..!," Aku mengiyakan, lalu berdiri dan mengancingkan celanaku.

Mbak Lastri berjalan duluan menuju kamar sedang aku mematikan film yang masih berlangsung dimana beberapa saat tadi sudah tidak menarik lagi karena ada yang sesuatu yang lebih menarik yang aku lakukan bersama Mbak Lastri. Tak kumatikan kompoter lalu kususul Mbak Lastri ke kamar.

Sampai di kamar kulihat Mbak Lastri sudah berbaring di atas kasur masih dengan bajunya. Kututup pintu lalu berjalan mendekatinya dan langsung ku peluk tubuhnya. Kucium bibirnya sambil lidahku kumasukan kedalam mulutnya lalu dihisapnya, kemudian gantian lidahnya ku hisap-hisap. Ciumanku kini kuarahkan kelehernya, kuciumi lehernya dan kupingnya tercium wangi farfum yang menguap dari tubunya.

"Ah.. Sshh..," Mbak Lastri mendesis-desis ketika tangan kananku kumasukan kedalam celananya, lalu kuelus-elus belahan diantara pahanya yang kurasakan berbulu tapi tidak terlalu banyak. Jari tanganku menjepit-jepit dan mencubit-cubit kelentitnya kemudian kumasukan jariku kedalam lubang senggamanya kuputar-putar dengan gerakan maju mundur.

Kulihat Mbak Lastri semakin gelisah menahan nafsunya yang semakin tinggi terkadang keluar keluahan dari mulutnya seperti orang kesakitan tapi aku yakin itu karena kenikmatan yang sedang dirasakannya.

"Ah.. Cen Mbak Lastri suka nggak tahan kalau di pegang itunya aahh.. Mbak Lastri buka aja celananya ya!" Kata Mbak Lastri sambil membuka celana dengan cara mengangkat pantanya lalu menurunkan celananya, aku membantunya dengan menarik nya sampai terlepas dari kakinya, dan tampaklah sepasang kaki gempal dengan celana dalam warna merah mudanya yang masih melekat, menutupi setangkup daerah paling sensitifnya. Ku elus-elus kedua kaki Mbak Lastri lalu kuciumi pahanya bergantian menuju ke atas ke arah selangkangannya. Tanganku berpindah-pindah antara mengelus paha mulusnya dan meremas kedua bongkahan pantatnya kenyal.

Ciumanku semakin mendekati memeknya yang masih ditutupi celana dalam. Sampai di pangkal pahanya lidahku kusapu-sapukan mengelilingi daerah sekitar kemaluannya, kuciumi permukaan memeknya dari atas celana dalamnya, kemudian pelan-pelan kutarik CD nya dari arah belakang, sedangkan bibir dan lidahku tetap menciumi daerah sekitar selangkangannya. Setelah CD Mbak Lastri terlepas, tampaklah belahan memeknya yang dihiasi bulu-bulu yang tidak telalu tebal. Kupandangi sebentar, kuarahkan bibirku ke kemaluannya kuciumi dan kusapu-sapukan lidahku, sedangkan kelentitnya ku kenyot-kenyot dan kujepit dengan bibirku. Hidungku mencium aroma kemaluan Mbak Lastri yang unik membuatku semakin bernafsu.

"Memek Mbak Lastri wangi pake apa Mbak?" Tanyaku pada Mbak Lastri.

Mbak Lastri tak menjawab hanya desahan yang keluar dari mulutnya.

"Aahh.. Terus.. Ahh," Mbak Lastri mencercercau dan bergerak-gerak sedikit liar, terkadang pantatnya dinaikan keatas hingga kepalaku ikut terangkat, tangannya meremas-remas rambutku, terkadang menekan kepalaku ke arah kemaluannya. Lidahku kini kutusuk-tusukkan kedalam memeknya yang sudah berlendir hingga semakin basah bercampur dengan air liurku. Jari tanganku mengelus-elus lubang duburnya lalu kumasukan juga ke dalam vaginanya, kuputar-putar jariku dalam memek Mbak Lastri lalu kugerakkan maju mundur. Terkadang kelentitnya kutarik dan kukenyot-kenyot.

"Enak nggak Mbak?" Tanyaku sambil wajahku tengadah untuk melihat wajahnya.

Mata Mbak Lastri sedikit merem dan bibir bawahnya sedikit digigit.

"Heueuh enak banget Cen, Mbak Lastri belum pernah diginiin sama suami Mbak Lastri aahh.." Jawab Mbak Lastri.

Sambil terus menciumi vaginanya yang harum tanganku menulusup kebalik bajunya, kuangkat BH nya keatas teteknya. Kupegang dan kuremas-remas teteknya dan kupilin-pilin pentilnya bergantian.

"Cen buka dong bajunya!" Pinta Mbak Lastri padaku.

Kuhentikan kegiatanku, kulepas semua yang menempel di tubuhku, sementara itu Mbak Lastri juga melepas baju dan BH nya, dan sekarang aku dan Mbak Lastri sudah sama-sama bugil. Kupeluk lagi Mbak Lastri kuciumi bibirnya, kuremas-remas teteknya, kupermainkan vaginanya dengan cara memilin-milin kelentitnya dan memasukan dan memutar-mutarkan jariku didalamnya. Sementara itu tangan Mbak Lastri memegang, mengelus-elus dan terkadang mengocok kontolku yang sudah tegang.

Kini Mbak Lastri yang aktif bergerak diatas tubuhku sedangkan aku hanya telentang meresapi kenikmatan. Bibir dan lidahnya menciumi dan menjilati terkadang digigi-gigitnya puting susuku, lalu turun ke bawah dan akhirnya kontolku ku dijadikan mainan. Mbak Lastri mengocok kemaluanku dengan cara memasuk dan mengeluarkan oleh mulutnya, lidahnya mengulas-ulas kepala kontolku. Biji pelirkupun tak luput dikenyot-kenyotnya, sedangkan tanganku meremas-remas rambutnya.

"Mbak gedean mana punya saya sama punya suami Mbak Lastri?" Tanyaku ingin tahu.
"Gedean punya kamu sedikit," Jawab Mbak Lastri sambil tetep mempermainkan kemaluanku.

Kemudian Mbak Lastri bangkit dan mengangkang di atas tubuhku.

"Mbak Lastri di atas yah..!" Pintanya.
"Memangnya kenapa kalau di atas, Mbak?" Tanyaku.
"Soalnya kalau di atas puas, kan yang banyak bergerak yang diatas makanya Mbak Lastri bisa cepet sampai," Mbak Lastri menjelaskan.

Mbak Lastri mengatur posisinya dengan meletakan pantanya diatas kemaluanku. Kedua kakinya dilipat sejajar pahaku lalu tangannya menuntun kontolku dan meletakan kepala kontolku di antara bibir memeknya dan persis ditengah lobang vaginanya. Setelah dirasa pas perlahan-lahan Mbak Lastri menekan pantatnya hingga kontolku terbenam ke dalam vaginanya, setelah sampai dasar nya pantatnya diayunkan naik turun dengan simultan. Tetek Mbak Lastri ikut terayun-ayun karena gerakan naik turunnya. Tetek Mbak Lastri sudah agak kendor tapi masih terlihat indah dengan ukuran yang sesuai dengan tubuhnya, tanganku meremas-remasnya terkadang ku angkat badanku agar aku dapat mengulum putingnya dan menjilati buah dadanya.

"Oh enak banget.. Aahh..," Mbak Lastri mengerang-ngerang.

Kuimbangi gerakan Mbak Lastri dengan mengangkat pantat apabila pantat Mbak Lastri menekan pantatnya hingga rasanya kemaluanku menyentuh dasar vaginanya. Terkadang tubuh Mbak Lastri tidur diatasku sambil tetap beggerakan pantanta. Mulutnya tak henti berdesis pelan. Setelah beberapa saat gerakan Mbak Lastri semakin cepat dan tangannya mencengkram dadaku.

"Ahh.. Mbak Lastri mau sampai sshh.. Aahh," Rupanya Mbak Lastri sudah mau klimaks. Aku semakin semangat meremas-remas dan memilin-milin putingnya, sedangkan tanganku yang satunya menowel dan mencubiti kelentitnya. Dan Akhirnya,
"Aahh..!" Mbak Lastri melenguh kenikmatan.

Tubuhnya mengejang diatas tubuhku dengan bibirnya melekat erat pada bibirku, kemudian perlahan-lahan tubuhnya melemah sampai akhirnya terdiam di atas tubuhku. Sedang kontolku masih tertancap di vaginanya. Kurasakan memeknya penuh cairan.

"Gimana Mbak..? Kita main lagi yah?" Aku mengajaknya untuk kembali bercinta karena aku belum apa-apa.
"Nanti sebentar Mbak Lastri masih cape," Jawabnya.

Lalu setelah Mbak Lastri sedikit segar kami mulai bercinta lagi.

"Mbak, nungging ya Mbak!"

Aku meminta Mbak Lastri untuk bercinta dalam posisi dimana aku di belakangnya tapi tidak benar-benar nungging. Mbak Lastri tidur telungkup dengan pantat sedikit mendongak dengan di ganjal bantal. Dalam posisi ini selain kenikmatan dengan terbenamnya kontol ke dalam vagina juga pantat montok Mbak Lastri bisa puas aku nikmati.

Ku arahkan kontolku ke vaginanya, setelah pas kudorong pelan sampai mentok, lalu kuangkat, kemudian kuayunkan pantatku maju mundur. Saat itu posisi tubuhku berada di atas tubuh Mbak Lastri dari arah belakang. Sambil memaju-mundurkan pantatku wajahku menciumi rambut Mbak Lastri dan tanganku meremas-remas teteknya dari belakang. Terkadang jari tanganku mencolok-colok dan mengulas-ulas lubang anusnya. Setelah beberapa saat aku merasa sudah akan klimaks, kuminta Mbak Epi berbalik untuk memakai gaya konvensional.

"Mbak, balik dong saya mau sampai nih," Pintaku.
"Iya Mbak Lastri juga mau sampai juga nih." Jawabnya.

Lalu Mbak Lastri membalikan badannya kakinya mengangkang. Langsung saja kumasukan kontolku ke dalam memeknya dan menggerak-gerakan pantatku kali ini dengan agak kasar.

"Aahh.. Ahh.. Kita keluarin bareng ya Cen," Kata Mbak Lastri sambil mendesah-desah.
"Mbak Lastri pilin-pilinin puting susu saya dong!" Aku memintanya.

Karena kenikmatan yang kudapat akan semakin maksimal apabila puting susuku dipilin-pilin.

Mbak Lastri memilin-milin putingku dan tanganku pun meremas-remas teteknya. Bibirku dan bibir Mbak Lastri saling berpagutan sambil saling sedot lidah, hingga akhirnya kurasakan sesuatu mendesak untuk di keluarkan yang di sertai kenikmatan tiada tara. Aku melihat Mbak Lastri juga mengalami hal yang sama dengan ku.

"Mbak Lastri saya mau keluar..," Kataku.

"Mbak Lastri juga mau keluar nih ," Mbak Lastri menjawab.

Dan ahirnya sambil kuhujamkan kontolku dengan keras kedalam memek Mbak Lastri, spermaku keluar membasahi vagina Mbak Lastri. Mbak Lastri juga sama denganku, kami saling berpagutan menuntaskan kenikmatan bersama-sama.

Kami terdiam beberapa saat menikmati sisa kenikmatan, tubuhku masih berada di atas tubuh Mbak Lastri, perlahan ku gulingkan tubuhku ke samping Mbak Lastri. Ada rasa ngilu pada kontolku ketika terlepas dari memek Mbak Lastri.

"Mbak Lastri puas banget Cen, sudah lama banget Mbak Lastri nggak ngerasain yang seperti tadi.," Mbak Lastri mengungkapkan kepuasannya.

"Saya juga Mbak, dan kalau nanti-nanti Mbak Lastri kepengen lagi saya selalu siap," Aku menimpalinnya sambil tanganku meraba-raba teteknya.

"Eh, udah yu, nanti keburu ada yang datang," Kata Mbak Lastri, dia bangkit dari tidur lalu meraih pakaiannya, mengenakannya lalu keluar menuju kamar mandi. Akupun berdiri, mengenakan pakaian lalu berjalan menuju kantorku, tak lama kemudian Mbak Lastri menyusul gantian aku yang ke kamar mandi.

Kami membicarakan tentang hal-hal lain beberapa saat, lalu anak buahku datang, Mbak Lastri pamit pulang. Setelah kejadian itu, kami tak pernah membahasnya meskipun Mbak Lastri tetap rutin datang ke kantorku. Sesungguhnya aku sangat ingin mengulanginya lagi tapi ada rasa segan untuk mengutarakannya ke Mbak Lastri, aku pikir lebih baik menunggu saja. Baik Aku maupun Mbak Lastri tak pernah menunjukan bahwa kami pernah bercinta, semua berlalu seperti terjadi apa-apa.

Sampai suatu malam, suami Mbak Lastri datang ke rumahku untuk meminta tolong memperbaiki komputernya yang baru dibeli tidak bisa di operasikan mungkin karena dimainin anak-anaknya. Lalu kami pergi ke rumahnya, ku chek komputernya dan ku bilang bahwa besok pagi saja memperbaikinya karena harus diinstal ulang dan membutuhkan waktu agak lama, kebetulan besok aku tidak begitu sibuk. Waktu itu Mbak Lastri memakai daster, membuat aku horny. Mbak Lastri lalu nimbrung ngobrol beberapa saat kemudian aku pulang.

Besok paginya sekitar jam 7, setelah pamit dengan istiruku aku ke rumah Mbak Lastri. Sesampainya di sana aku bertemu dengan suaminya Mbak Lastri yang sudah bersiap-siap berangkat kerja, Mbak Lastri sedang mandi ketika itu sedangkan anak-anaknya sudah berangkat sekolah diantar pembantunya. Setelah ngobrol beberapa saat suaminya lalu berangkat kerja dan aku langsung meperbaiki komputernya. Mbak Lastri kemudian keluar dari kamarnya, rambutnya masi terlihat basah, menghampiriku lalu berbasa-basi sebentar lalu pergi ke ruangan lain, aku kembali konsentrasi ke komputer. Sebetulnya saat itu aku sangat berharap kejadian dulu bersama Mbak Lastri dapat terulang kembali, tapi aku nggak berani untuk memulai.

Proses instal sedang komputer sedang berlangsung dan aku menunggunya sambil sesekali melihat layar TV. Tiba-tiba terdengar suara Mbak Lastri memanggil dari ruang tamu.

"Cen, kesini deh."
"Ada apa Mbak?' Sahutku, kemudian berjalan ke arah ruang tamu. Ku lihat Mbak Lastri sedang duduk di sofa sambil membaca majalah, dia memakai kaus dan kain membalut bagian bawah tubuhnya, lalu aku menghampirinya.
"Komputernya sudah selesai belum?," Dia bertanya.
"Belum masih lama Mbak, kenapa Mbak?"
"Sini deh!" Dia memintaku duduk di sampingnya. Lalu aku duduk di sampingnya tercium wangi sabun dari tubuhnya.
"Mbak Lastri kepengen nih1" Akhirnya waktunya datang juga, aku faham keinginan Mbak Lastri untuk bercinta.
"Disini?, nanti kalau pembantu Mbak Lastri pulang gimana?"
"Nggak, dia pulangnya jam 10,"

Setelah mendengar jawabannya langsung ku peluk tubuh Mbak Lastri, ku cium bibirnya dan kami saling berpagutan, sedang tanganku kumasukan ke dalam bajunya dan ternyata Mbak Lastri tidak memakai BH. Kuremas-remas teteknya. Tangan Mbak Lastri masuk ke dalam celanaku dan mempermainkan kontolku.

"Mbak, kaosnya di lepas ya!," Pintaku.

Mbak Lastri langsung melepas kausnya sedang kan aku, kuturunkan celanaku sebatas paha hingga kontolku yang mulai tegang keluar. Aku tidak berani melepas pakaian.

"Mbak nungging dong" Aku memintanya.
"Nungging gimana? Dia bertanya untuk memastikan posisinya.

Aku atur posisi badan Mbak Lastri, lututnya menempel di lantai sedangkan badannya di atas sofa. Setelah posisinya kurasa enak, ku angkat kain yang menutupi bagian bawah tubuhnya dan ternyata dia juga tidak memakai CD. Mulai kuarahkan ke lobang memeknya, ku tekan pantatku lalu ku ayun. Sambil mengayunkan pantat, kuciumi tengkuk dan rambutnya, sedang tanganku dua-duanya meremas teteknya. Dari mulutnya ku dengar desis perlahan.

"Cen Mbak Lastri di atas yah!' Dia meminta mengubah posisi. Aku lalu duduk bersandar di atas Sofa, tubuh Mbak Lastri naik ke atas tubuhku, tangannya membimbing kontolku ke arah lubang memeknya. Di gerakannya pantatnya naik turun dan kuimbangi dengan gerakan pantatku menekan keatas apabila pantatnya menekan ke bawah.

Bibir Mbak Lastri melumat dengan rakus bibirku, sedangkan tanganku meremas-remas bongkahan pantatnya. Terkadang kuciumi teteknya dan kukenyot-kenyot pentilnya, kepalanya menengadah keatas.

Beberapa saat kemudian,

"Mbak Lastri mau keluar aahh!!" Dia berbisik ketelingaku sambil menggerakan pantatnya semakin cepat.

Aku pun merasakan hal yang sama lalu kuminta Mbak Lastri untuk memilin-milin pentil susuku. Aku semakin bergairah mengimbangi gerakan yang di lakukan Mbak Lastri. Kuciumi lagi teteknya sambil di remas-remas.

Akhirnya, saatnya tiba, Mbak Lastri menekan memeknya sedemikian rupa dan akupun menekan pantatku sampai kontolku serasa mentok. Tubuhku dan Tubuh Mbak Lastri berpelukan erat dengan mulut saling berpagutan. Spermaku keluar membanjiri memeknya. Sampai beberapa saat kami tetap saling berpelukan menikmati sisa kenikmatan.

Aku di hamili ABG tetangga



Namaku Lani, seorang ibu rumah tangga, umurku 36 tahun. Suamiku namanya Prasojo, umur 44 tahun, seorang pegawai di pemerintahan di Bantul. Aku bahagia dengan suami dan kedua anakku. Suamiku seorang laki-laki yang gagah dan bertubuh besar, biasalah dulu dia seorang tentara. Penampilanku walaupun sudah terbilang berumur tapi sangat terawat, karena aku rajin ke salon dan fitnes dan yoga. Kata orang, aku mirip seperti Sandy Harun.

Tubuhku masih bisa dikatakan langsing, walaupun payudaraku termasuk besar, karena sudah punya anak dua. Anakku yang pertama bernama Rika, seorang gadis remaja yang beranjak dewasa. Dia sudah mau lulus SMA, yang kedua Sangga,masih sekolah SMA kelas 1. Rika walaupun tinggal serumah dengan kami juga lebih sering menghabiskan waktunya di tempat kosnya di kawasan Gejayan. Kalau si Sangga, karena cowok remaja, lebih sering berkumpul dengan teman-temannya ataupun sibuk berkegiatan di sekolahnya. Semenjak tidak lagi sibuk mengurusi anak-anak, kehidupan seksku semakin tua justru semakin menjadi-jadi. Apalagi suamiku selain bertubuh kekar, juga orang yang sangat terbuka soal urusan seks. Akhir-akhir ini, setelah anak-anak besar, kami berlangganan internet.

Aku dan suamiku sering browsing masalah-masalah seks, baik video, cerita, ataupun foto-foto. Segala macam gaya berhubungan badan kami lakukan. Kami bercinta sangat sering, minimal seminggu tiga kali. Entah mengapa, semenjak kami sering berseluncur di internet, gairah seksku semakin menggebu. Sebagai tentara, suami sering tidak ada di rumah, tapi kalau pas di rumah, kami langsung main kuda-kudaan, hehehe. Sudah lama kami memutuskan untuk tidak punya anak lagi. Tapi aku sangat takut untuk pasang spiral. Dulu aku pernah mencoba suntik dan pil KB. Tapi sekarang kami lebih sering pakai kondom, atau lebih seringnya suamiku ‘keluar’ di luar. Biasanya di mukaku, di payudara, atau bahkan di dalam mulutku. Pokoknya kami sangat hati-hati agar Sangga tidak punya adik lagi. Dan tenang saja, suamiku sangat jago mengendalikan muncratannya, jadi aku tidak khawatir muncrat di dalam rahimku. Walaupun sudah dua kali melahirkan tubuhku termasuk sintal dan seksi. Payudaraku masih cukup kencang karena terawat. Tapi yang jelas, bodiku masih semlohai, karena aku masih punya pinggang. Aku sadar, kalau tubuhku masih tetap membuat para pria menelan air liurnya. Apalagi aku termasuk ibu-ibu yang suka pakai baju yang agak ketat. Sudah kebiasaan sih dari remaja.

Suamiku termasuk seorang pejabat yang baik. Dia ramah pada setiap orang. Di kampung dia termasuk aparat yang disukai oleh para tetangga. Apalagi suamiku juga banyak bergaul dengan anak-anak muda kampung. Kalau pas di rumah, suamiku sering mengajak anak-anak muda untuk bermain dan bercakap-cakap di teras rumah. Semenjak setahun yang lalu, di halaman depan rumah kami di bangun semacam gazebo untuk nongkrong para tetangga. Setelah membeli televisi baru, televisi lama kami, ditaruh di gazebo itu, sehingga para tetangga betah nongkrong di situ. Yang jelas, banyak bapak-bapak yang curi-curi pandang ke tubuhku kalau pas aku bersih-bersih halaman atau ikutan nimbrung sebentar di tempat itu. Maklumlah, kalau istilah kerennya, aku ini termasuk MILF, hehehe. Selain bapak-bapak, ada juga pemuda dan remaja yang sering bermain di rumah. Salah satunya karena gazebo itu juga dipergunakan sebagai perpustakaan untuk warga.

Salah satu anak kampung yang paling sering main ke rumah adalah Indun, yang masih SMP kelas 2. Dia anak tetangga kami yang berjarak 3 rumah dari tempat kami. Anaknya baik dan ringan tangan. Sama suamiku dia sangat akrab, bahkan sering membantu suamiku kalau lagi bersih-bersih rumah, atau membelikan kami sesuatu di warung. Sejak masih anak-anak, Indun dekat dengan anak-anak kami, mereka sering main karambol bareng di gazebo kami. Bahkan kadang-kadang Indun menginap di situ, karena kalau malam, gazebo itu diberi penutup oleh suamiku, sehingga tidak terasa dingin. Pada suatu malam, aku dan suamiku sedang bermesraan di kamar kami. Semenjak sering melihat adegan blow job di internet, aku jadi kecanduan mengulum penis suamiku. Apalagi penis suamiku adalah penis yang paling gagah sedunia bagiku. Tidak kalah dengan penis-penis yang biasa kulihat di BF. Padahal dulu waktu masih pengantin muda aku selalu menolak kalau diajak blowjob. Entah kenapa sekarang di usia yang sudah pertengahan kepala tiga ini aku justru tergila-gila mengulum batang suamiku. Bahkan aku bisa orgasme hanya dengan mengulum batang besar itu. Tiap nonton film blue pun mulutku serasa gatal. Kalau pas tidak ada suamiku, aku selalu membawa pisang kalau nonton film-film gituan. Biasalah, sambil nonton, sambil makan pisang, hehehe. Malam itu pun aku dengan rakus menjilati penis suamiku. Bagi mas Prasojo, mulutku adalah vagina keduanya. Dengan berseloroh, dia pernah bilang kalau sebenarnya dia sama saja sudah poligami, karena dia punya dua lubang yang sama-sama hotnya untuk dimasuki. Ucapan itu ada benarnya, karena mulutku sudah hampir menyerupai vagina, baik dalam mengulum maupun dalam menyedot. Karena kami menghindari kehamilan, bahkan sebagian besar sperma suamiku masuk ke dalam mulutku. Malam itu kami lupa kalau Indun tidur di gazebo kami. Seperti biasa, aku teriak-teriak pada waktu penis suamiku mengaduk-aduk vaginaku. Suamiku sangat kuat. Malam itu aku sudah berkali-kali orgasme, sementara suamiku masih segar bugar dan menggenjotku terus menerus. Tiba-tiba kami tersentak, ketika kami mendengar suara berisik di jendela. Segera suami mencabut batangnya dan membuka jendela. Di luar nampak Indun dengan wajah kaget dan gemetaran ketahuan mengintip kami. Suamiku nampak marah dan melongokkan badannya keluar jendela. Indun yang kaget dan ketakutan meloncat ke belakang. Saking kagetnya, kakinya terantuk selokan kecil di teras rumah. Indun terjerembab dan terjungkal ke belakang. Suamiku tak jadi marah, tapi dia kesal juga.

“Walah, Ndun! Kamu itu ngapain?” bentaknya.
Indun ketakutan setengah mati. Dia sangat menghormati kami. Suamiku yang tadinya kesal pun tak jadi memarahinya. Indun gelagepan. Wajahnya meringis menahan sakit, sepertinya pantatnya terantuk sesuatu di halaman. Aku tadinya juga sangat malu diintip anak ingusan itu. Tapi aku juga menyayangi Indun, bahkan seperti anakku sendiri. Aku juga sadar, sebenarnya kami yang salah karena bercinta dengan suara segaduh itu. Aku segera meraih dasterku dan ikut menghampiri Indun.
“Aduh, mas. Kasian dia, gak usah dimarahin. Kamu sakit Ndun?” Aku mendekati Indun dan memegang tangannya.
Wajah Indun sangat memelas, antara takut, sakit, dan malu.
“Sudah gak papa. Kamu sakit, Ndun?” tanyaku. “Sini coba kamu berdiri, bisa gak?”
Karena gemeteran, Indun gagal mencoba berdiri, dia malah terjerembab lagi. Secara reflek, aku memegang punggungnya, sehingga kami berdua menjadi berpelukan. Dadaku menyentuh lengannya, tentu saja dia dapat merasakan lembutnya gundukan besar dadaku, karena aku hanya memakai daster tipis yang sambungan, sementara di dalamnya aku tidak memakai apa-apa.

“Aduh sorri, Ndun” pekikku.
Tiba-tiba suamiku tertawa. Agak kesal aku melirik suamiku, kenapa dia menertawai kami.
“Aduh Mas ini. Ada anak jatuh kok malah ketawa”
“Hahaha.. lihat itu, Dik. Si Indun ternyata udah gede, hahaha...” kata suamiku sambil menunjuk selangkangan Indun. Weitss... ternyata mungkin tadi Indun mengintip kami sambil mengocok, karena di atas celananya yang agak melorot, batang kecilnya mencuat ke atas. Penis kecil itu terlihat sangat tegang dan berwarna kemerahan. Malu juga aku melihat adegan itu, apalagi si Indun. Dia tambah gelagepan.
“Hussh Mas. Kasihan dia, udah malu tuh”, kataku yang justru menambah malu si Indun.
“Kamu suka yang lihat barusan, Ndun? Wah, hayooo... kamu nafsu ya lihat istriku?” goda suamiku.
Suamiku malah ketawa-ketawa sambil berdiri di belakangku. Tentu saja wajah Indun tambah memerah, walaupun tetap saja penis kecilnya tegak berdiri. Kesal juga aku sama suamiku. Udah gak menolonng malah mentertawakan anak ingusan itu.
“Huh, Mas mbok jangan godain dia, mbok tolongin nih, angkat dia”
“Lha dia khan sudah berdiri, ya tho Ndun? Wakakak” kata suamiku.

Aku sungguh tidak tega lihat muka anak itu. Merah padam karena malu. Aku lalu berdiri mengangkang di depan anak itu, dan memegang dua tangannya untuk menariknya berdiri. Berat juga badannya. Kutarik kuat-kuat, akhirnya dia terangkat. Tapi baru setengah jalan, mungkin karena dia masih gemetar dan aku juga kurang kuat, tiba-tiba justru aku yang jatuh menimpanya. Ohhh... aku berusaha untuk menahan badanku agar tidak menindih anak itu, tapi tanganku malah menekan dada Indun dan membuatnya jatuh terlentang sekali lagi. Bahkan kali ini, aku ikut jatuh terduduk di pangkuannya. Dan.... ohhhh. Sleppp.... terasa sesuatu menggesek bibir vaginaku.
“Waa...!” aku tersentak dan sesaat bingung apa yang terjadi, begitu juga dengan Indun, wajahnya nampak sangat ketakutan. “Aduuuhhh!” teriakku. Sementara suamiku justru tertawa melihat kami jatuh lagi. Tiba-tiba aku sadar benda apa yang bergesekan dengan vaginaku, penis kecil si Indun! Penis itu menggesek wilayah sensitifku disamping karena vaginaku masih basah oleh persetubuhanku dengan suamiku, juga karena aku tidak mengenakan apa-apa di balik daster pendekku.
“Ohhhhh.... apa yang terjadi?” Pikirku.
Mungkin juga karena penis Indun yang masih imut dan lobang vaginaku yang biasa digagahi penis besar suami, jadinya sangat mudah diselipin batang kecil itu.

“Ohhh.. Masss???” desisku pada suamiku. Kali ini suamiku berhenti tertawa dan agak kaget.
“Napa, say?” tanyanya heran.
Kami bertiga sama-sama kaget, suamiku nampaknya juga menyadari apa yang terjadi. Dia mendekati kami, dan melihat bahwa kelamin kami saling bersentuhan. Beberapa saat kami bertiga terdiam bingung dengan apa yang terjadi. Aku merasakan penis Indun berdenyut-denyut. Lobangku juga segera meresponnya, mengingat rasa tanggung setelah persetubuhanku dengan suamiku yang tertunda. Aku mencoba bangkit, tapi entah kenapa, kakiku jadi gemetar dan kembali selangkanganku menekan tubuh si Indun. Tentu saja penisnya melesak ke lobangku. Ohhh... aku merasakan sensasi yang biasa kutemui kala sedang bersetubuh.
“Ohhh...” desisku. Indun terpekik tertahan. Wajahnya memerah. Tapi aku merasakan pantatnya sedikit dinaikkan merespon selangkanganku. Slepppp... kembali penis itu menusuk dalam lobangku.
Yang mengherankan suamiku diam saja, entah karena dia kaget atau apa. Hanya aku lihat wajahnya ikut memerah dan sedikit membuka mulutnya, mungkin bingung juga untuk bereaksi dengan situasi aneh ini.

Aku diam saja menahan napas sambil menguatkan tanganku yang menahan tubuhku. Tanganku berada di sisi kanan dan kiri si Indun. Sementara Indun dengan wajah merah padam menatap mukaku dengan panik. Agak mangkel juga aku lihat mukanya, panik, takut, tapi kok penisnya tetap tegang di dalam vaginaku. Dasar anak mesum, pikirku. Tapi aneh juga, aku justru merasakan sensasi yang aneh dengan adanya penis anak yang sudah kuanggap saudaraku sendiri itu dalam vaginaku. Agak kasihan juga lihat mukanya, dan juga muncul rasa sayang. Pikirku, kasihan juga anak ini, dia sangat bernafsu mengintip kami, dan juga apalagi yang dikawatirkan, karena penisnya sudah terlanjur dalam vaginaku. Aku melirik suamiku sambil tetap duduk di pangkuan si Indun. Suamiku tetap diam saja. Agak kesal juga aku lihat respon mas Prasojo. Tiba-tiba pikiran nakal menyelimuti. Kenapa tidak kuteruskan saja persetubuhanku dengan Indun, toh penisnya sudah menancap di vaginaku. Apalagi kalau lihat muka hornynya yang sudah di ubun-ubun, kasihan lihat Indun kalau tidak diteruskan. Dengan nekat aku kembali menekan pantatku ke depan. Vaginaku meremas penis Indun di dalam. Merasakan remasan itu, Indun terpekik kaget. Suamiku mendengus kaget juga.

“Dik, aaa...paaaa yang kaulakukan?” kata suamiku gagap.
Aku diam saja, hanya saja aku mulai menggoyang pantatku maju mundur.
Suamiku melongo sekarang. Wajahnya mendekat melihat mukaku setengah tak percaya. Indun tidak berani lihat suamiku. Dia menatap wajahku keheranan dan penuh nafsu.
“Mas... aku teruskan saja ya, kasihan si Indun. Apalagi khan sudah terlanjur masuk, toh sama saja...” bisikku berani ke suamiku.
Aku tak bisa lagi menduga perasaan suamiku. Kecelakaan ini benar-benar di luar perkiraan kami semua. Tapi suamiku memegang pundakku, yang kupikir mengijinkan kejadian ini. Entah apa yang ada di pikiranku, aku tiba-tiba sangat ingin menuntaskan nafsu si Indun. Si Indun mengerang-erang sambil terbaring di rerumputan halaman rumah kami. Kembali aku memaju-mundurkan pantatku sambil meremas-remas penis kecil itu di dalam lobangku. Remasanku selalu bikin suamiku tak tahan, karena aku rajin ikut senam. Apalagi ini si Indun, anak ingusan yang tidak berpengalaman. Tiba-tiba, karena sensasi yang aneh ini, aku merasakan orgasme di dalam vaginaku. Jarang aku orgasme secepat itu. Aku merintih dan mengerang sambil memegang erat lengan suamiku. Banjir mengalir dalam lobangku. Otomatis remasan dalam vaginaku menguat, dan penis kecil si Indun dijepit dengan luar biasa.
Indun meringis dan mengerang. Pantatnya melengkung naik, dann.... croottttttttt...........
Cairan panas itu membanjiri rahimku. Aku seperti hilang kendali, semua tiba-tiba gelap dan aku diserbu oleh badai kenikmatan...
“Ohhhhhhhhhh...”

Aku lalu terkulai sambil menunduk menahan tubuhku dengan kedua tanganku. Nafasku terengah-engah tidak karuan. Sejenak aku diam tak tahu harus bagaimana. Aku dan suamiku saling berpandangan.
“Dik... Indun gak pakai kondom ..?” suamiku terbata-bata.
Kami sama-sama kaget menyadari bahwa percintaan itu tanpa pengaman sama sekali, dan aku telah menerima banyak sekali sperma dalam rahimku, sperma si anak ingusan. Ohhh... tiba-tiba aku sadar akan resiko dari persetubuhan ini. Aku dalam masa subur, dan sangat bisa jadi aku bakalan mengandung anak dari Indun, bocah SMP yang masih ingusan.

Pelan-pelan aku berdiri dan mencabut penis Indun dari vaginaku. Penis itu masih setengah berdiri, dan berkilat basah oleh cairan kami berdua. Aku dan suamiku mengehela nafas. Cepat cepat aku memperbaiki dasterku. Dengan gugup, Indun juga menaikkan celananya dan duduk ketakutan di rerumputan.
“Maa.. ma’af, Bu..” akhirnya keluar juga suaranya.
Aku menatap Indun dengan wajah seramah mungkin. Suamiku yang akhirnya pegang peranan.
“Sudahlah, Ndun. Sana kamu pulang, mandi dan cuci-cuci!” perintahnya tegas.
“Iya, om. Ma.. maaf ya Om” kata Indun sambil menunduk. Segera dia meluncur pergi lewat halaman samping.
“Masuk!” suamiku melihat ke arahku dengan suara agak keras.
Gemetar juga aku mendengar suamiku yang biasanya halus dan mesra padaku. Aduuh, apa yang akan terjadi?bKami berdua masuk ke rumah, aku tercekat tidak bisa mengatakan apa-apa. Tiba-tiba pikiran-pikiran buruk menderaku, jangan-jangan suamiku tak memaafkanku. Ohhh apa yang bisa kulakukan. Di dalam kamar tangisanku pecah. Aku tak berani menatap suamiku. Selama ini aku adalah istri yang setia dan bahagia bersama suamiku, tapi malam ini... tiba-tiba aku merasa sangat kotor dan hina. Agak lama suamiku membiarkanku menangis. Pada akhirnya dia mengelus pundakku.
“Sudahlah bu, ini khan kecelakaan.”
Hatiku sangat lega. Aku menatap suamiku, dan mencium bibirnya. Tiba-tiba aku menjadi sangat takut kehilangan dia. Kami berpelukan lama sekali.
“Tapi mas... kalau aku...... hamil gimana?” tanyaku memberanikan diri.
“Ah.. mana mungkin, dia khan masih ingusan. Dan kalau pun Dik Idah hamil khan gak papa, si Sangga juga sudah siap kalau punya adik lagi”, sanggah suamiku.

Jawaban itu sedikit menenangkan hatiku. Akhirnya kami bercinta lagi. Kurasakan suamiku begitu mengebu-gebu mengerjaiku. Apa yang ada di pikirannya, aku tak tahu, padahal dia barusan saja melihat istrinya disetubuhi anak muda. Sampai-sampai aku kelelehan melayani suamiku. Pada orgasme yang ketiga aku menyerah.
“Mas, keluarin di mulutku saja ya... aku tak kuat lagi” bisikku pada orgasme ketigaku ketika kami dalam posisi doggystye.
Suamiku mengeluarkan penisnya dan menyorongkannya ke mulutku. Sambil terbaring aku menyedot-nyedot penis besar itu. Sekitar setengah jam kemudian, mulutku penuh dengan sperma suamiku. Dengan penuh kasih sayang, aku menelan semua cairan kental itu.

###################
Hari-hari selanjutnya berlalu dengan biasa. Aku dan suamiku tetap dengan kemesraan yang sama. Kami seolah-olah melupakan kejadian malam itu. Hanya saja, Indun belum berani main ke rumah. Agak kangen juga kami dengan anak itu. Sebenarnya rumah kami dekat dengan rumah Indun, tapi aku juga belum berani untuk melihat keadaan anak itu. Hanya saja aku masih sering ketemu ibunya, dan sering iseng-iseng nanya keadaan Indun. Katanya sih dia baik-baik saja hanya sekarang lagi sibuk persiapan mau naik kelas 3 SMP. Seminggu sebelum bulan puasa, Indun datang ke rumah mengantarkan selamatan keluarganya. Wajahnya masih kelihatan malu-malu ketemu aku. Aku sendiri dengan riang menemuinya di depan rumah.
“Hai Ndun, kok kamu jarang main ke rumah?” tanyaku.
“Eh, iya bu. Gak papa kok Bu”, jawabnya sambil tersipu.
“Bilang ke mamamu, makasih ya”
“Iya bu”, jawab Indun dengan canggung. Dia bahkan tak berani menatap wajahku. Entah kenapa aku merasa kangen sekali sama anak itu. Padahal dia jelas masih anak ingusan, dan bukan type-type anak SMP yang populer dan gagah kayak yang jago-jago main basket. Jelas si Indun tidak terlalu gagah, tapi ukuran sedang untuk anak SMP. Hanya badannya memang tinggi.

“Ayo masuk dulu. Aku buatin minum ya” ajakku.
Indun tampak masih agak malu dan takut untuk masuk rumah kami. Siang itu suamiku masih dinas ke Kulonprogo. Anak-anak juga tidak ada yang di rumah. Kami bercakap-cakap sebentar tentang sekolahnya dan sebagainya. Sekali-kali aku merasa Indun melirik ke badanku. Wah, gak tahu kenapa, aku merasa senang juga diperhatiin sama anak itu badanku. Waktu itu aku mengenakan kaos agak ketat karena barusan ikut kelas yoga bersama ibu-ibu Candra Kirana. Tentunya dadaku terlihat sangat menonjol. Akhirnya tidak begitu lama, Indun pamit pulang. Dia kelihatan lega sikapku padanya tidak berubah setelah kejadian malam itu.
Hingga pada bulan selanjutnya aku tiba-tiba gelisah. Sudah hampir lewat dua minggu aku belum datang bulan. Tentu saja kejadian waktu itu membuatku bertambah panik. Gimana kalau benar-benar jadi? Aku belum berani bilang pada Mas Prasojo. Untuk melakukan test saja aku sangat takut. Takutnya kalau positif.
Hingga pada suatu pagi aku melakukan test kehamilan di kamar mandi. Dan, deg! Hatiku seperti mau copot. Lembaran kecil itu menunjukkan kalau aku positif hamil!!! Oh Tuhan!
Aku benar-benar kaget dan tak percaya. Jelas ini bukan anak suamiku. Kami selalu bercinta dengan aman. Dan jelas sesuai dengan waktu kejadian, ini adalah anak Indun, si anak SMP yang belum cukup umur. Aku benar-benar bingung. Seharian aku tidak dapat berkonsentrasi. Pikiranku berkecamuk tidak karuan. Bukan saja karena aku tidak siap untuk punya anak lagi, tapi juga bagaimana reaksi suamiku, bahwa aku hamil dari laki-laki lain. Itulah yang paling membuatku bingung.

Hari itu aku belum berani untuk memberi tahu suamiku. Dua hari berikutnya, justru suamiku yang merasakan perbedaan sikapku.
“Dik Lani, ada apa? Kok sepertinya kurang sehat?” tanyanya penuh perhatian.
Waktu itu kami sedang tidur bedua. Aku tidak bisa mengeluarkan kata-kata. Yang kulakukan hanya memeluk suamiku erat-erat. Suamiku membalas pelukanku.
“Ada apa sayang?” tanyanya.
Badan kekarnya memelukku mesra. Aku selalu merasa tenang dalam pelukan laki-laki perkasa itu. Aku tidak berani menjawab. Suamiku memegang mukaku, dan menghadapkan ke mukanya. Sepertinya dia menyadari apa yang terjadi. Sambil menatap mataku, dia bertanya, “benarkah?”
Aku mengangguk pelan sambil menagis, “aku hamil, mas...”
Jelas suamiku juga kaget. Dia diam saja sambil tetap memelukku. Lalu dia menjawab singkat’
“besok kita ke dokter Merlin”. Aku mengangguk, lalu kami saling berpelukan sampai pagi tiba.
Hari selanjut sore-sore kami berdua menemui dokter Merlin. Setelah dilakukan test, dokter cantik itu memberi selamat pada kami berdua.
“Selamat, Pak dan Bu Prasojo. Anda akan mendapatkan anak ketiga”, kata dokter itu riang.
Kami mengucapkan terimakasih atas ucapan itu, dan sepanjang jalan pulang tidak berkata sepatah kata pun. Setelah itu, suamiku tidak menyinggung masalah itu, bahkan dia memberi tahu pada anak-anak kalau mereka akan punya adik baru. Anak-anak ternyata senang juga, karena sudah lama tidak ada anak kecil di rumah. Bagi mereka, adik kecil akan menyemarakkan rumah yang sekarang sudah tidak lagi ada suara anak kecilnya.
Malamnya, setelah tahu aku hamil, suamiku justru menyetubuhiku dengan ganas. Aku tidak tahu apakah dia ingin agar anak itu gugur atau karena dia merasa sangat bernafsu padaku. Yang jelas aku menyambutnya dengan tak kalah bernafsu. Bahkan kami baru tidur menjelang jam 3 dini hari setelah sepanjang malam kami bergelut di kasur kami. Aku tidak tahu lagi bagaimana wujud mukaku malam itu, karena sepanjang malam mulutku disodok-sodok penis suamiku, dan dipenuhi oleh muncratan spermanya yang sampai tiga kali membasahi muka dan mulutku. Aku hampir tidak bisa bangun pagi harinya, karena seluruh tubuhku seperti remuk dikerjain suamiku. Untungnya esok harinya hari libur, jadi aku tidak harus buru-buru menyiapkan sekolah anak-anak.

Hari-hari selanjutnya berlalu dengan luar biasa. Suamiku bertambah hot setiap malam. Aku juga selalu merasa horny. Wah, beruntung juga kalau semua ibu-ibu ngidamnya penis suami seperti kehamilanku kali ini. Hamil kali ini betul-betul beda dengan kehamilanku sebelumnya, yang biasanya pakai ngidam gak karuan. Hamil kali ini justru aku merasa sangat santai dan bernafsu birahi tinggi. Setiap malam vaginaku terasa senut-senut, ada atau tak ada suamiku. Kalau pas ada enak, aku tinggal naik dan goyang-goyang pinggang. Kalau pas gak ada aku yang sering kebingungan, dan mencari-cari di internet film-film porno. Sudah itu pasti aku mainin pakai pisang, yang jadi langgananku di pasar setiap pagi, hehehe. Yang jadi masalah, adalah perlukah aku memberi tahu si Indun bahwa aku hamil dari benihnya? Aku tidak berani bertanya pada suamiku. Dia mendukung kehamilanku saja sudah sangat membahagiakanku. Aku menjadi bahagia dengan kehamilan ini. Di luar dugaanku, ternyata kami sekeluarga sudah siap menyambut anggota baru keluarga kami. Itulah hal yang sangat aku syukuri.

Pas bulan puasa, tiba-tiba suamiku melakukan sesuatu yang mengherankanku. Dia mengajak Indun untuk membantu bersih-bersih rumah kami. Tentu saja aku senang, karena suamiku sudah bisa menerima kejadian waktu itu. Aku senang melihat mereka berdua bergotong-royong membersihkan halaman dan rumah. Indun dan Mas Prasojo nampak sudah bersikap biasa sebagaimana sebelum kejadian malam itu. Bahkan sesekali Indun kembali menginap di gazebo kami, karena kami merasa sepi juga tanpa kehadiran anak-anak. Si Rika semakin sibuk dengan urusan kampusnya, sementara si Sangga hanya pada malam hari saja menunjukkan mukanya di rumah. Semenjak itu, suasana di rumah kami menjadi kembali seperti sediakala. Tetap saja gazebo depan rumah sering ramai dikunjungi orang. Cuma sekarang Indun tidak pernah lagi menginap di sana. Mungkin karena hampir ujian, jadi dia harus banyak belajar di rumah. Beberapa bulan kemudian, tubuhku mulai berubah. Perutku mulai terlihat membuncit. Kedua payudara membesar. Memang kalau hamil, aku selalu mengalami pembengkakan pada kedua payudaraku. Hormonku membuatku selalu bernafsu. Mas Prasojo pun seolah-olah ikut mengalami perubahan hormon. Nafsu seksnya semakin menggebu melihat perubahan di tubuhku. Kalau pas di rumah, setiap malam kami bertempur habis-habisan. Gawatnya, payudaraku yang memang sebelumnya sudah besar menjadi bertambah besar. Semua bra yang kucoba sudah tidak muat lagi, padahal bra yang kupakai adalah ukuran terbesar yang ada di toko. Kata yang jual, aku harus pesan dulu untuk membeli bra yang pas di ukuran dadaku sekarang. Akhirnya aku nekat kalau di rumah jarang memakai bra. Kecuali kalau keluar, itupun aku menjadi tersiksa karena pembengkakan payudaraku.

Aku menjadi seperti mesin seks. Dadaku besar, dan pantatku membusung. Seolah tak pernah puas dengan bercinta setiap malam. Suamiku mengimbangiku dengan nafsunya yang juga bertambah besar. Indun akhirnya tahu juga kehamilanku. Dia sering curi-curi pandang melihat perutku yang mulai membuncit. Aku tidak tahu, apakah dia sadar, kalau anak dalam kandunganku adalah hasil dari perbuatannya. Yang jelas, Indun menjadi sangat perhatian padaku. Setiap sore dia ke rumah untuk membantu apa saja. Bahkan di malam hari pun dia masih di rumah sambil sekali-kali meneruskan program mengaji anak-anakku.

Pada suatu malam, Mas Prasojo harus pergi dinas ke luar kota. Malam itu kami membiarkan Indun sampai malam di rumah kami, sambil menjaga menjaga rumah. Aku harus ikut pengajian dengan ibu-ibu kampung. Jam setengah 10 malam aku baru pulang. Sampai di rumah, aku lihat Indun masih mengerjakan tugas sekolahnya di ruang tamu.
“Ndun, Sangga sudah pulang?” tanyaku sambil menaruh payung, karena malam itu hujan cukup deras.
“Belum, Bu”
Aku lalu menelpon anak itu. Ternyata dia sedang mengerjakan tugas di rumah temannya. Aku percaya dengan Sangga, karena anak itu tidak seperti anak-anak yang suka hura-hura. Dia tipe anak yang sangat serius dalam belajar. Apalagi sekolahnya adalah sekolah teladan di kota kami. Jadi kubiarkan saja dia menginap di rumah temannya itu.
Aku lalu berkata ke Indun, “Kamu nginap sini aja ya, aku takut nih, hujan deres banget dan Mas Prasojo gak pulang malam ini”.
Memang aku selalu gak enak hati kalau cuaca buruk tanpa mas Prasojo. Takutnya kalau ada angin besar dan lampu mati. Apalagi kami sudah tidak ada lagi masalah dengan kejadian waktu itu.
“Iya bu, sekalian aku ngerjain tugas di sini”, jawab Indun.
Aku melepas kerudungku dan duduk di depan tivi di ruang keluarga. Agak malas juga aku ganti daster, dan juga ada si Indun, gak enak kalau dia nanti keingat kejadian dulu. Sambil masih tetap pakai baju muslim panjang aku menyelonjorkan kakiku di sofa, sementara si Indun masih sibuk mengerjakan kalukulus di ruang tamu. Bajuku baju panjang terusan. Agak gerah juga karena baju panjang itu, akhirnya aku masuk kamar dan melepas bra yang menyiksa payudara bengkakku. Aku juga melepas cd ku karena lembab yang luar biasa di celah vaginaku. Maklum ibu hamil. Kalau kalian lihat aku malam itu mungkin kalian juga bakalan nafsu deh, soalnya walaupun pakai baju panjang, tapi seluruh lekuk tubuhku pada keliatan, karena pantat dan payudaraku membesar. Acara tivi gak ada yang menarik. Akhirnya aku ingat untuk membuatkan Indun minuman. Sambil membawa kopi ke ruang tamu aku duduk menemani anak itu.

“Wah, makasih , Bu. Kok repot-repot” katanya sungkan.
“Gak papa, kok”
Aku duduk di depannya sambil tak sengaja mengelus perutku.
Indun malu-malu melihat perutku.
“Bu, udah berapa bulan ya?” tanyanya kemudian, sambil meletakkan penanya.
“Menurutmu berapa bulan? Masak nggak tahu?” tanyaku iseng menggodanya.
Tiba-tiba mukanya memerah. Indun lalu menunduk malu.
“Ya nggak tahu bu... Kok saya bisa tahu darimana?” jawabnya tersipu.
Tiba-tiba aku sangat ingin memberi tahunya, kabar gembira yang sewajarnya juga dirasakan oleh bapak kandung dari anak dalam kandunganku. Dengan santai aku menjawab, “Lha bapaknya masak gak tahu umur anaknya?”
Indun kaget, gak menyangka aku akan menjawab sejelas itu. Dia jelas gelagapan. Hehehe. Apa yang kau harap dari seorang anak ingusan yang tiba-tiba akan menjadi bapak.
Wajahnya melongo melihatku takut-takut. Dia tidak tahu akan menjawab apa. Aku jadi tambah ingin menggodanya.

“Kamu sih, bapak yang gak bertanggung jawab. Sudah menghamili pura-pura tidak tahu lagi”, kataku sambil melirik menggodanya.
Aku mengelus-elus perutku. Geli juga lihat wajah Indun saat itu. Antara kaget dan bingung serta perasaan-perasaan yang tidak dimengertinya.
“Aku... eeeee... maaf Bu... aku tidak tahu...” Indun menyeka keringat dingin di dahinya.
“Memangnya kamu tidak suka anak dalam perutku ini anakmu?” tanyaku.
“Eh... aku suka banget Bu.. Aku seneng...” Indun benar-benar kalut.
“Ya udah, kalau benar-benar seneng, sini kamu rasakan gerakannya” kataku manja sambil mengelus perutku.
“Boleh Bu? Aku pegang..?” tanyanya kawatir.
“Ya, sini, kamu rasakan aja. Biar kalian dekat” perutku terlihat sangat membuncit karena baju muslim yang kupakai hampir tidak muat menyembunyikan bengkaknya. Indun bergeser dan duduk di sebelahku. Matanya menunduk melihat ke perutku. Takut-takut tangannya menuju ke perutku. Dengan tenang kupegang tangan itu dan kudaratkan ke bukit di perutku. Sebenarnya aku berbohong, karena umur begitu gerakan bayi belum terasa, tapi Indun mana tahu. Dengan hati-hati dia meletakkan telapaknya di perutku.
“Maaf ya bu”, ijinnya. Aku membiarkan telapaknya menempel ketat di perutku. Dia diam seolah-olah mencoba mendengar apa yang ada di dalam rahimku. Aku merasa senang sekali karena biar bagaimanapun anak ingusan ini adalah bapak dari anak dalam kandunganku.
“Kamu suka punya anak?” tanyaku.
“Aku suka sekali, Bu, punya anak dari Ibu. Ohh.. Bu. Maafkan saya ya Bu” jawab Indun hampir tak kedengaran. Tangannya gemetar di atas perutku.
Indun terlihat sangat kebingungan, tak tahu harus berbuat apa. Aku juga ikut bingung, dengan perasaan campur aduk. Antara bahagia, bingung, geli, dan macam-macam rasa gak jelas. Tiba-tiba dadaku berdebar-debar menatap anak muda itu. Anak itu sendiri masih takut-takut melihat mukaku. Kami berdua tiba-tiba terdiam tanpa tahu harus melakukan apa. Tangan Indun terdiam di atas perutku.

“Ndun, kamu gimana perasaanmu lihat ibu-ibu yang lagi bengkak-bengkak kayak aku?” tanyaku memecah kesunyian.
“Saya suka sekali sama Ibu......” jawabnya.
“Kenapa?”
“Ibu cantik..” jawabnya dengan muka memerah.
“Ihh.. cantik dari mana? Aku khan udah tua dan lagian sekarang badanku kayak gini..” jawabku.
Indun mengangkat wajahnya pelan menatapku, malu-malu.
“Gak kok, Ibu tetep cantik banget...” jawabnya pelan. Tangannya mulai mengelus-elus perutku. Aku merasa geli, yang tiba-tiba jadi sedikit horny. Apalagi tadi malam Mas Prasojo belum sempat menyetubuhiku.
“Kok waktu itu kamu tegang ngintip aku sama Mas Prasojo?” tanyaku manja. Mukaku memerah. Aku benar-benar bernafsu. Aneh juga, anak kecil ini pun sekarang membuatku pengen disetubuhi. Apa yang salah dengan tubuhku?
“Aku nafsu lihat badan Ibu...” kali ini Indun menatap wajahku.

Mukanya merah. Jelas dia bernafsu. Aku tahu banget muka laki-laki yang nafsu lihat aku.
“Kalau sekarang? Masa masih nafsu juga, aku khan sudah membukit kayak gini..”
Indun belingsatan.
“Sekarang iya..” jawabnya sambil membetulkan celananya.
“Idiiih.... Mana coba lihat?” godaku.
Indun makin berani. Tangannya gemetar membuka celananya. Dari dalam celananya tersembul keluar sebatang penis jauh lebih kecil dari punya suamiku. Yang jelas, penis itu sudah sangat tegang.
“Wah, kok sudah tegang banget. Pengen nengok anakmu ya?” godaku.
Indun sudah menurunkan semua celananya. Tapi dia tidak tahu harus melakukan apa. Lucu lihat batang kecil itu tegak menantang. Aku sudah sangat horny. Vaginaku sudah mulai basah. Tak tahu kenapa bisa senafsu itu dekat dengan anak SMP ini. Dengan gemes, aku pegang penis Indun.
“Mau dimasukin lagi?” tanyaku gemetar.
“Iya bu.. Mau banget”
Tanpa menunggu lagi aku menaikkan baju panjangku dan mengangkangkan kakiku. Segera vaginaku terpampang jelas di depan Indun. Rambut hitam vaginaku serasa sangat kontras dengan kulit putihku.
Segera kubimbing penis anak itu ke dalam lobang vaginaku. Indun mengerang pelan, matanya terbeliak melihat penisnya pelan-pelan masuk ditelan vaginaku.

“Ohhhh...... Buuu.....” desisnya.

Bless, segera penis itu masuk seluruhnya dalam lobang vaginaku. Aku sendiri merasakan kenikmatan yang aneh. Entah kenapa, aku sangat ingin mengisi lobangku dengan batang itu.
“Diemin dulu di dalam sebentar, biar kamu gak cepat keluar”, perintahku.
“Iiiiiyaaa, Bu..” erangnya. Indun mendongakkan kepalanya menahan kenikmatan yang luar biasa baginya. Sengaja pelan-pelan kuremas penis itu dengan vaginaku, sambil kulihat reaksinya.
“Ohhh...” Indun mengerang sambil mendongak ke atas.
Kubiarkan dia merasakan sensasi itu. Pelan-pelan tanganku meremas pantatnya. Indun menunduk menatap wajahku di bawahnya. Pelan-pelan dia mulai bisa mengendalikan dirinya. Tampak nafasnya mulai agak teratur. Kupegang leher anak itu, dan kuturunkan mukanya. Muka kami semakin berdekatan. Bibirku lalu mencium bibirnya. Kamu berdua melenguh, lalu saling mengulum dan bermain lidah. Tangannya meremas dadaku. Aku merasakan kenikmatan yang tiada tara. Segera kuangkat sedikit pantatku untuk merasakan seluruh batang itu semakin ambles ke dalam vaginaku.
“Ndun, ayo gerakin maju mundur pelan-pelan..” perintahku.
Indun mulai memaju mundurkan pantatnya. Penisnya walaupun kecil, kalau sudah keras begitu nikmat sekali dalam vaginaku. Aku mengerang-erang sekarang. Vaginaku sudah basah sekali. Banjir mengalir sampai ke pantatku, bahkan mengenai sofa ruang tamu.

Aku mengarahkan tangan Indun untuk meremas-remas payudaraku lagi. Dengan hati-hati dia berusaha tidak mengenai perutku, karena takut kandunganku. Ohhh... aku sudah sangat nafsuu... sekitar 15 menit Indun memaju mundurkan pantatnya. Tidak mengira dia sekarang sekuat itu. Mungkin dulu dia panik dan belum terbiasa. Aku tiba-tiba merasakan orgasme yang luar biasa.
“Ohhhh...” teriakku. Tubuhku melengkung ke atas. Indun terdiam dengan tetap menancapkan penisnya dalam lobangku. “Aku sampai, Ndunnnn......” aku terengah-engah.
Sambil tetap membiarkan penisnya di dalam vaginaku, aku memeluk ABG itu. Badannya penuh keringat. Kami terdiam selama berepa menit sambil berpelukan. Penis Indun masih keras dan tegang di dalam vaginaku.

“Ndun, pindah kamar yuk”, ajakku.
Indun mengangguk. Dicabutnya penisnya dan berdiri di depanku. Aku ikut berdiri gemetar karena dampak orgasme yang mengebu barusan. Kemudian aku membimbing tangan anak itu membawanya ke kamarku. Di kamar aku meminta dia melepaskan bajuku, karena agak repot melepas baju ini. Di depan pemuda itu aku kini telanjang bulat. Indun juga melepas bajunya. Sekarang kami berdua telanjang dan saling berpelukan. Aku lihat penisnya masih tegak mengacung ke atas. Aku rebahkan pemuda itu di kasurku. Lalu aku naik ke atas dan kembali memasukkan penisnya ke vaginaku. Kali ini aku yang menggenjotnya maju mundur. Tangan Indun meremas-remas susuku. Ohh, nikmat sekali. Penis kecil itu benar-benar hebat. Dia berdiri tegak terus tanpa mengendor seidkit pun. Aku sengaja memutar-mutar pantatku supaya penis itu cepat muncrat. Tapi tetap saja posisinya sama. Aku kembali orgasme, bahkan sampai dua kali lagi. Orgasme ketiga aku sudah kelelahan yang luar biasa. Aku peluk pemuda itu dan kupegang penisnya yang masih tegak mengacung. Kami berpelukan di tengah ranjang yang biasa kupakai bercinta dengan suamiku.
“Aduuuh, Ndun.. kamu kuat juga ya. Kamu masih belum keluar ya?”
“Gak papa Bu...” jawabnya pelan.
Tiba-tiba aku punya ide untuk membantu Indun. Kuraih batang kecil itu dan kembali kumasukkan dalam vaginaku. Kali ini kami saling berpelukan sambil berbaring bersisian.
“Ndun, Ibu udah lelah banget. Batangmu dibiarin aja ya di dalam, sampai kamu keluar...” bisikku.

Indun mengangguk. Kami kembali berpelukan bagai sepasang kekasih. Vaginaku berkedut-kedut menerima batang itu. Kubiarkan banjir mengalir membasahi vaginaku, Indun juga membiarkan penisnya tersimpan rapi dalam vaginaku. Karena kelelahan aku tertidur dengan penis dalam vaginaku. Gak tahu berapa jam aku tertidur dengan penis masih dalam vaginaku, ketika jam 1 malam tiba hpku menerima sms. Aku terbangun dan melihat Indun masih menatap wajahku sambil membiarkan penisnya diam dalam lobangku.
“Aduh, Ndun. Kamu belum bisa bobok? Aduuuh, soriiii ya...” kataku sambil meremas penisnya dengan vaginaku.
“Gak papa kok, Bu. Aku seneng banget di dalam..” kata Indun.
Tanpa merubah posisi aku meraih hpku di meja samping ranjang. Kubuka sms, ternyata dari Mas Prasojo: “Hai Say, udah bobok? Kalau blum aku pengen telp”.
Aku segera balas: “Baru terbangn, telp aja, kangen”
Segera setelah kubalas sms, Mas Prasojo menelponku. Aku menerima telepon sambil berbaring dan membiarkan penis Indun di dalam vaginaku.

“Hei... Sorii ganggu, udah bobok apa?” tanyanya.
“Gak papa Mas, kangen. Kapan jadinya balik?” tanyaku.
“Lusa, Dik, ini aku masih di jalan. Lagi ada pembekalan masyarakat. Gimana anak-anak?”
“Hmmm.... “ aku agak menggeliat. Indun memajukan pantatnya, takut lepas penisnya dari lobangku. Aku meletakkan jariku di bibirnya, agar dia tak bersuara. Indun mengangguk sambil tersenyum.
“Baik, mereka oke-oke saja kok. Udah pada makan dan bobok nyenyak dari jam 9 tadi. Aku kangen mas...”
“Sama.. Pengen nih” kata suamiku.
“Sini, mau di mulut apa di bawah?” tanyaku nakal.
“Mana aja deh”
“Nih, pakai mulutku aja, udah lama gak dikasih. Udah gatel, hihih...” godaku.
“Aduuh Dik. Aku lagi di kampung sepi. Malah jadi kangen sama kamu. Gimana hayooo?” rengek suamiku.
Kami memang biasa saling terbuka soal kebutuhan seks kami.
“Kocok aja Mas, aku juga mau” kataku manja.
Kemudian aku menggeser Indun agar menindih di atas tubuhku. Sambil tanganku menutup hp, aku berbisik ke Indun, “Sekarang kamu genjot aku sekencang-kencangnya sampai keluar, ya. Sekuat-kuatnya”.
Indun mengangguk. Aku menjawab telepon suamiku, “Ayo, mas, buka celananya..”
Aku mengambil cdku di sampingku, lalu kujejalkan ke mulut Indun. Indun tahu maksudku agar dia tidak bersuara.
“Oke, Dik. Aku sudah menghunus rudalku..”

Sambil menjawab mesra aku menekan pantat Indun agar segera memaju mundurkan penisnya dalam vaginaku. Indun segera membalasnya, dan mulai menggenjotku. Aku menyuruhnya untuk menurunkan kakinya ke samping ranjang sehingga perutku tidak tertindih badannya. Sementara aku mengangkang dengan dua kakiku terangkat ke samping kiri dan kanan badan laki-laki abg itu. Ohhh, ya Tuhan. Bagai kesetanan, Indun menggenjotku seperti yang kuperintahkan. Aku mengerang-erang, begitu juga suamiku.
“Mas, aku masturbasi kesetanan ini..... Pengen banget.... Kamu kocok kuat-kuat yaaa..... Ahhhhh”
“Iyyyyaaaa... Ooohhh, untung aku bawa cdmu, buat ngocok nihh.... Ohhhhh” erang suamiku.
Tak kalah hebatnya, Indun menggasak lobangku dengan tanpa kompromi. Badan kurusnya maju mundur secepat bor listrik. Aku mengerang-erang tidak karuan. Suara lobangku berdecit-decit karena banjir dan gesekan dengan penis Indun. Benar-benar gila malam ini. Aku sudah tidak ingat lagi berapa lama aku digenjot Indun. Suaraku penuh nafsu bertukar kata-kata mesra dengan suamiku. Indun seolah-olah tak pernah lelah. Tubuhnya sudah banjir keringat. Stamina mudanya benar-benar membanggakan. Keringat juga membanjiri tubuhku. Sementara suara suamiku juga meraung-raung kenikmatan, semoga kamar dia di perjalan dinas itu kamar yang kedap suara. Beberapa saat kemudian aku kehabisan tenaga. Kuminta Indun untuk berhenti sejenak. Pemuda itu nampak terengah-engah sehabis menggenjotku habis-habisan. Setelah itu kami melanjutkan permainan kami. Indun dengan kuatnya menggenjotku habis-habisan. Aku tak tahu lagi apa yang kecerecaukan di telepon, tapi nampaknya suamiku juga sama saja. Beberapa saat kemudian aku dan suamiku sama-sama berteriak, kami sama-sama keluar. Aku terengah-engah mengatur nafasku. Lalu suamiku memberi salam mesra dan ciuman jarak jauh. Kami betul-betul terpuaskan malam ini. Setelah ngobrol-ngobrol singkat, suamiku menutup teleponnya. Di kamarku, Indun masih menggenjotku pelan-pelan. Dia belum keluar rupanya. Wah, gila. Aku kawatir jepitanku mungkin sudah tidak mempan buat penisnya yang masih tumbuh. Kubiarkan penis pemuda itu mengobok-obok vaginaku. Tiba-tiba kudorong Indun, sehingga lepas penis dari lobangku.

“Ohhh”, lenguhnya kecewa.
Lalu aku tarik dia naik ke tempat tidur, dan aku segera menungging di depannya. Indun tahu maksudku. Dia segera mengarahkan penisnya ke vaginaku. Tapi segera kupegang penis itu dan kuarahkan ke lobang yang lain. Pantatku! Mungkin di sanalah penis Indun akan dijepit dengan maksimal, pikirku tanpa pertimbangan. Indun sadar apa yang kulakukan. Disodokkannya penisnya ke lobang pantatku. Tapi lobang itu ternyata masih terlalu kecil bahkan buat penis Indun. Aku berdiri dan menyuruhnya menunggu. Lalu aku turun dan mengambil jelli organik dari dalam rak obat di kamar mandi. Dengan setia Indun menunggu dengan penis yang juga setia mengacung. Jelli itu kuoleskan ke seluruh batang Indun, dan sebagian kuusap-usapkan ke sekitar lobang pantatku. Kembali aku menunggingkan pantatku. Indun mengarahkan kotolnya kembali dan pelan-pelan lobang itu berhasil di terobosnya.

“Ohhhhh.....” desisku. Sensasinya sangat luar biasa. Pelan-pelan batang penis itu menyusup di lobang yang sempit itu.
Indun mengerang keras. Setengah perjalanan, penis itu berhenti. Baru separo yang masuk. Indun terengah-engah, begitu juga aku.
“Pelan-pelan, Ndun...” bisikku.
Indun memegang bongkahan pantatku, dan kembali menyodokkan penisnya ke lobangku. Dan akhirnya seluruh batang itu masuk manis dalam lobang pantatku.
“Ohhh, Tuhan...” rasanya sangat luar biasa, antara sakit dan nikmat yang tak terceritakan. Aku mengerang. Kami berdiam beberapa menit, membiarkan lobangku terbiasa dengan batang penis itu. Setelah itu Indun mulai memaju mundukan pinggangnya. Rasanya luar biasa. Pengalaman baru yang membuatku ketagihan. Beberapa saat kemudian, Indun mengerang-erang keras. Dia memaksakan menggejot pantatku dengan cepat, tapi karena sangat sempit,
genjotannya tidak bisa lancar. Kemudian,
“ohhhhh...”
Indun memuncratkan spermanya dalam pantatku. Crot...Aku tersungkur dan Indun terlentang ke belakang. Muncratannya sebagian mengenai punggungku. Kami sama-sama terengah-engah dan kelelahan yang luar biasa. Aku membalikkan tubuhku dan memeluk Indun yang terkapar tanpa daya. Kami berpelukan dengan telanjang bulat sepanjang malam.

########################
Paginya, aku bangun jam 6 pagi. ABG itu masih ada dalam pelukanku. Oh, Tuhan. Untung aku mengunci kamarku. Mbok Imah tetangga yang biasa bantuin ngurusin anak-anak sudah terdengar suaranya di belakang. Oh.. Apa yang sudah kulakukan tadi malam, aku benar-benar tidak habis pikir. Kalau malam waktu itu benar-benar hanya sebuah kecelakaan. Tapi malam ini, aku dan Indun benar-benar melakukannya dengan penuh kesadaran. Apa yang kulakukan pada anak abg ini? Aku jadi gelisah memikirkannya, aku takut membuat anak ini menjadi anak yang salah jalan. Rasa bersalah itu membuatku merasa bertambah sayang pada anak kecil itu. Kurangkul kembali tubuh kecil itu dan kuciumin pipinya. Tubuh kami masih sama-sama telanjang. Aku lihat si Indun masih nyenyak tidur. Mukanya nampak manis sekali pagi itu. Aku mengecup pipi anak itu dan membangunkannya.
“Ndun... Bangun. Kamu sekolah khan?” bisikku.
Indun nampak kaget dan segera duduk.

“Oh, Bu.. Maaf aku kesiangan...” katanya gugup.
“Gak papa Ndun, aku yang salah mengajakmu tadi malam”
Kami berpandangan.
“Maaf Bu. Aku benar-benar tidak sopan”
“Lho, khan bukan kamu yang mengajak kita tidur bersama. Aku yang salah Ndun” bisikku pelan.
Indun menatapku, “Aku sayang sama Ibu...” katanya pelan.
“Ndun, kamu punya pacar?”
“Belum, bu”
“Kamu janji ya jangan cerita-cerita ke siapa-siapa ya soal kita”
“Iya bu, gak mungkinlah”
“Aku takut kamu rusak karena aku”
“Gak kok Bu, aku sayang sama Ibu”
“Kamu jangan melakukan ini ke sembarang orang ya” kataku kawatir.
“Tidak Bu, aku bukan cowok seperti itu. Tapi kalau sama Ibu, masih boleh ya...” katanya pelan.
Tiba-tiba aku sangat ingin memeluk anak itu.
“Aku juga sayang kamu Ndun. Sini Ibu peluk” Indun mendekat dan kami berpelukan sambil berdiri. Tangannya merangkul pinggangku, dan aku memegang pantatnya. Kami berpelukan lama dan saling berpandangan. Lalu bibir kami saling berpagutan. Gila, aku benar-benar serasa berpacaran dengan anak kecil itu. Mulut kami saling bergumul dengan panasnya.
Aku lihat penis anak itu masih tegak berdiri, mungkin karena efek pagi hari. Tanganku meraih batang itu dan mengocoknya pelan-pelan.

Aku berpikir cepat, karena pagi ini Indun harus sekolah, aku harus segera menuntaskan ketegangan penis itu. Aku segera membalikkan tubuhku dan berpegangan pada meja rias. Sambil melihat Indun lewat cermin aku menyuruhnya.
“Ndun, kamu pakai jeli itu lagi. Cepat masukin lagi penismu ke pantat Ibu”
Indun buru-buru melumas batangnya. Aku menyorongkan bungkahan pantatku. Dari cermin aku dapat melihat muku dan badanku sendiri. Ohh... agak malu juga aku melihat tubuhku yang mulai membengkak di sana-sini, tapi masih penuh dengan nafsu birahi.
“Cepat Ndun, nanti kamu terlambat sekolah”, perintahku.
Sambil memeluk perutku, Indun mendorong penisnya masuk ke lobang pantatku. Lobang yang semalam sudah disodok-sodok itu segera menerima batang yang mengeras itu. Segera kami sudah melakukan persetubuhan lagi. Aku dapat melihat adegan seksi itu lewat cermin, di mana mukaku terlihat sangat nafsu dan juga muka Indun yang mengerang-erang di belakangku.

“Ayo, Ndun, sodok yang kuat”

“Iyyyaaa.. Bu”

“Terusss... Cepat”

Sodokan-sodokan Indun semakin cepat. Lobang pantatku semakin elastis menerima batang imut itu. Sungguh kenikmatan yang luar biasa. Tidak berapa lama kemudian kami berdua sama-sama mencapai puncak kenikmatan. Indun membiarkan cairan spermanya meluncur deras dalam pantatku. Kami sama-sama terengah-engah menikmati puncak yang barusan kami daki.
“Ohhh...”
Sejenak kemudian aku lepaskan pantatku dari penisnya.
“Udah Ndun. Sana kamu mandi, pulang. Nanti kamu terlambat lho sekolahnya” kataku sambil tersenyum.
Indun mencari-cari pakaiannya. Tiba-tiba kami sadar kalau celana Indun ada di ruang tamu. Aku suruh si Indun nunggu di kamar, dan aku segera berpakaian dan keluar ke ruang tamu. Moga-moga belum ada yang menemukan celana itu. Untungnya celana itu teronggok di bawah sofa dan terselip, sehingga Mbok Imah yang biasanya sibuk dulu menyiapkan sarapan belum sempat membereskan ruang tamu. Celana itu segera kuambil dan kubawa ke kamar. Si Indun yang tadinya nampak panik berubah tenang. Setelah memakai celananya, Indun kusuruh cepat-cepat keluar ke ruang tamu dan mengambil tas belajarnya yang semalam tergeletak di meja tamu. Setelah itu dia pamit pulang. Aku segera mandi. Di kamar mandi aku merasakan sedikit perih di bagian lobang pantatku. Baru kali ini lobang itu menjadi alat seks, itu pun justru dengan anak kecil yang belum tahu apa-apa. Ada sedikit rasa sesal, tapi segera kuguyur kepalaku untuk menghilangkan rasa gundah di dadaku.

######################
Sorenya Indun kembali main ke rumah. Dia sudah sibuk membereskan buku-buku di gazebo kami. Malam itu Indun tidur lagi di kamarku. Mas Prasojo baru pulang besok harinya. Selama berjam-jam kami kembali bercinta. Kami saling berpelukan dan berbagi kasih selayaknya sepasang kekasih. Tapi sebelum jam 1 aku suruh Indun untuk segera tidur, aku kawatir sekolahnya akan terganggu karena aktivitasku.

“Ndun, tadi kamu di sekolah gimana?” bisikku setelah kami selesai ronde ke tiga. Kami berpelukan dengan mesra di tengah ranjang.
“Biasa aja Bu”
“Kamu gak kelelahan atau ngantuk di sekolah?”
“Iya Bu, sedikit. Tapi gak papa, aku tadi sempat tidur siang”
“Aku takut menganggu sekolahmu”
“Gak kok Bu. Tadi aku bisa ngikutin pelajaran”
“Okelah kalau gitu. Tapi setelah ini kamu tidur ya, gak usah diterusin dulu”
“Iya Bu”
“Besok Mas Prasojo pulang, kamu gak bisa nginap disini”
“Iya, Bu. Tapi kapan-kapan saya siap menemani Ibu di sini”
“Yee.... maunya. Ya gak papa”, kataku sambil mencubit pinggangnya.
“Aku mau jadi pacar Ibu”
“Lho aku khan sudah bersuami?”
“Ya gak papa, jadi apa saja deh”
“Aku justru kasihan sama kamu. Besok-besok kalau kamu udah siap, kamu cari pacar yang bener ya?”
“Iya Bu. Aku tetap sayang sama Ibu. Mau dijadiin apa saja juga mau”
“Idihh.. ya udah. Bobok yuk” kataku kelelahan.
Kami tidur berpelukan sampai pagi.

#######################
Setelah malam itu, aku semakin sering bercinta dengan Indun. Kapan pun ada kesempatan, kami berdua akan melakukannya. Indun sangat memperhatikan bayi dalam kandunganku. Setiap ada kesempatan, dia menciumi perutku dan mengelus-elusnya. Kasihan juga aku lihat anak kecil itu sudah merasa harus jadi bapak. Herannya, aku juga kecanduan dengan penis kecil anak itu. Padahal aku sudah punya penis yang jauh lebih besar dan tersedia untukku. Bayangkan, beda usiaku dengan Indun mungkin sekitar 27 tahun. Bahkan anak itu lebih cocok menjadi adik anak-anakku. Tapi hubungan kami bertambah mesra seiring usia kehamilanku yang semakin membesar. Indun bahkan sering ikut menemaniku ke dokter tatkala suamiku sedang dinas keluar. Indun semakin perhatian padaku dan anak dalam kandunganku. Kami sangat bahagia karena bayi dalam kandunganku berada dalam kondisi sehat. Aku selalu mengingatkan Indun untuk tetap fokus pada sekolahnya, dan jangan terlalu memikirkan anaknya. Yang paling tidak bisa dicegah adalah, Indun semakin lama semakin kecanduan lobang pantatku. Lama-lama aku juga merasakan hal yang sama. Seolah-olah lobang pantatku menjadi milik eksklusif Indun, sementara lobang-lobangku yang lain dibagi antara Indun dan suamiku. Sampai sekarang, suamiku tidak pernah tahu kalau pantatku sudah dijebol oleh Indun. Lama-lama aku kawatir juga dengan cerita tentang hubungan kelamin lewat pantat dapat menimbulkan berbagai penyakit, termasuk AIDS. Aku akhirnya menyediakan kondom untuk Indun kalau dia minta lobang pantatku. Indun sih oke-oke saja. Dia juga kawatir, walaupun dia sangat senang ketika masuk ke lubang pantatku.
Untung aku dan suamiku juga kadang-kadang memakai kondom, sehingga aku tidak canggung lagi membeli kondom di apotik. Bahkan aku sering mendapat kondom gratis dari kelurahan. Mungkin karena masih masa pertumbuhan, dan sering kupakai, aku melihat lama kelamaan penis Indun juga mengalami pembesaran. Penis yang semakin berpengalaman itu tidak lagi seperti penis imut pada waktu pertama kali masuk ke vaginaku, tapi sudah menjelma menjadi penis dewasa dan berurat ketika tegang. Aku sadar, kalau aku adalah salah satu sebab dari pertumbuhan instant dari penis Indun. Kekuatan penis Indun juga semakin luar biasa. Dia tidak lagi gampang keluar, bahkan kalau dipikir-pikir, dia mungkin lebih kuat dari suamiku. Karena perutku semakin membesar aku jadi sering pakai celana legging yang lentur dan baju kaos ketat yang berbahan sangat lentur. Kalau di rumah aku bahkan hanya pakai kaos panjang tanpa bawahan. Orang pasti mengira aku selalu pakai cd, padahal sering aku malas memakainya. Entah karena gawan ibu hamil atau karena nafsu birahiku yang semakin gila.

##########################
Waktu ibu Indun mau naik haji, aku ikut sibuk dengan ibu-ibu kampung untuk mempersiapkan pengajian haji. Biasalah, kalau mau naik haji pasti hebohnya minta ampun. Aku termasuk dekat dengan ibu Indun. Namanya bu Masuroh, yang biasa dipanggil Bu Ro. Karena keluarga Indun termasuk keluarga yang terpandang di desa kami, maka acara pengajian itu menjadi acara yang besar-besaran. Banyak ibu-ibu yang ikut sibuk di rumah Bu Ro. Kalau aku ke sana aku lebih sering karena ingin ketemu Indun. Acara pengajian dan keberadaan Mas Prasojo di rumah membuat kesempatanku bertemu dengan Indun menjadi sangat terbatas. Sudah lama Indun tidak merasakan lobang pantatku. Aku sendiri bingung bagaimana mencari kesempatan untuk ketemu Indun. Walaupun aku sering pergi ke rumahnya dan kadang-kadang juga diantar Indun untuk berbelanja sesuatu untuk keperluan pengajian, tapi tetap saja kami tidak punya kesempatan untuk bercinta. Akhirnya pada saat pengajian besar itu aku mendapatkan ide. Sorenya, segera kutelepon Indun menggunakan telepon rumah, karena aku sangat hati-hati memakai hp, apalagi untuk urusan Indun.
“Assalamu’alaikum, Bu. Ini Bu Lani. Gimana Bu persiapan nanti malam, sudah beres semua?”
“Oh, Bu Lani. Sudah Bu. Nanti datangnya agak sorean ya bu. Kalau gak ada Ibu, kita bingung nih” jawab Bu Ro.
“Iya, beres Bu. Saya sama Bu Anjar sudah kangenan setelah magrib langsung kesitu, kok Bu. Indun ada Bu Ro?”
“Ada Bu, sebentar ya Bu”
Setelah Indun yang memegang telepon, aku segera bilang:
“Ndun nanti malam kamu pake celana yang bisa dibuka depannya ya” kataku pelan
“Iya Bu” jawab Indun agak bingung.
“Terus kamu pakai kondom kamu...”
Malam itu pengajian dilangsungkan dengan besar-besaran. Halaman RW kami yang luas hampir tidak bisa menampung jama’ah yang datang dari seluruh penjuru kota. Bu Ro memang tokoh yang disegani masyarakat. Aku datang bersama ibu-ibu RT dengan memakai baju atasan longgar yang menutup sampai bawah pinggang. Bawahannya aku memakai legging ketat, karena memang lagi biasa dipakai ibu-ibu pada saat ini. Apalagi aku lagi hamil, pasti orang-orang pada maklum akan kondisiku. Yang tidak biasa adalah bahwa aku tidak memakai apapun di balik celana leggingku. Sengaja aku tinggalkan cdku di rumah, karena aku punya sebuah ide untuk Indun. Setelah semua urusan kepanitiaan beres, aku segera bergabung dengan ibu-ibu jama’ah pengajian. Tapi kemudian aku dan beberapa ibu yang lain pindah ke halaman, karena lebih bebas dan bisa berdiri. Hanya saja halaman itu sudah sangat penuh dan berdesak-desakan. Justru aku memilih tempat yang paling ramai oleh pengunjung. Di kejauhan aku melihat Indun dan memberinya kode untuk mengikutiku. Indun beranjak menuju ke arahku, sementara aku mengajak Bu Anjar untuk ke sebuah lokasi di bawah pohon di lapangan RW. Lokasi itu agak gelap karena bayangan lampu tertutup rindangnya pohon. Walaupun demikian, banyak anggota jama’ah di situ yang berdiri berdesak-desakan.

“Kita sini aja Bu, kalau Ibu mau. Tapi kalau ibu keberatan, silakan Ibu pindah ke sana” kataku pada Bu Anjar.
“Gak papa Bu, di sini lebih bebas. Bisa bolos kalau udah kemaleman, hihihi..” kata Bu Anjar.
“Iya , ya. Biasanya pengajian ginian bisa sampai jam 12 lho”
Kami lalu bercakap-cakap dengan seru sambil mendengarkan pengajian. Ternyata di sebelah Bu Anjar adan Bu Kesti yang juara negrumpi. Kami segera terlibat pembicaraan serius sambil sekali-kali mendengarkan ceramah kalau pas ada cerita-cerita lucu. Kami berdiri agak di barisan tengah, Bu Anjar dan Bu Kesti mendapat tempat duduk di sebelahku.
“Bu, monggo kalau mau duduk” tawarnya padaku.
“Wah gak usah Bu. Saya lebih suka berdiri gini aja” jawabku. Padahal aku sedang menunggu Indun yang sedang berusaha menyibak kerumunan menuju ke arah kami.

Akhirnya Indun tiba di belakangku. Dua ibu-ibu sebelahku tidak memperhatikan kehadiran Indun, tapi aku melirik anak muda itu dan menyuruhnya berdiri tepat di belakangku. Aku bergeser berdiri sedikit di belakang bangku Bu Anjar dan Bu Kesti. Sementara Indun dengan segera berdiri tepat di belakangku. Dengan diam-diam aku menempelkan pantatku ke badan Indun. Indun tersenyum dan memajukan badannya. Pantatku yang semlohai segera menempel pada penis Indun yang sudah tegang di balik celananya.
Aku berbisik pada Indun, “buka, Ndun. Udah pakai kondom?”
Indun mengangguk dan membuka risliting celananya. Segera tersembul batangnya yang sudah mengeras. Segera kusibakkan baju panjangku ke atas dan nampaklah leggingku sudah kuberi lobang di bagian belahan pantatku. Indun nampak terkejut, dan sekaligus mengerti maksudku. Dengan pelan-pelan diarahkannya batang kerasnya ke lobang pantatku. Dan, slepppp. Masuklah batang itu ke lobang favoritnya. Tangan Indun masuk ke dalam bajuku sambil mengelus-elus perutku. Batangnya berada di dalam lobangku sambil sesekali dimaju mundurin. Kami bercinta di tengah keramaian dengan tanpa ada yang menyadarinya. Walaupun begitu aku tetap bercakap-cakap dengan dua ibu-ibu tetanggaku itu. Sementara di kanan kiri kami orang-orang sibuk mendengarkan ceramah dengan berdesak-desakan.

Sekitar satu jam Indun memelukku dalam gelap dari belakang. Tiba-tiba vaginaku berkedut-kedut, pengen ikut disodok. Kalau dari belakang berarti aku harus lebih nunduk lagi. Pelan-pelan kutarik keluar penis Indun dan kulepas kondomnya. Aku kembali mengarahkannya, kali ini ke lubang vaginaku. Indun mengerti. Lalu, bless.. dengan lancarnya penis itu masuk ke vaginaku dari belakang. Ohh, enak sekali. Aku mulai tidak konsentrasi terhadap ceramah maupun obrolan dua ibu-ibu itu. Karena hanya sesekali kami bergoyang, maka adegan persetubuhan itu berlangsung cukup lama. Kepalaku sudah mulai berkunang-kunang kenikmatan. Di tengkukku aku merasakan nafas Indun semakin ngos-ngosan. Beberapa saat kemudian, aku mengalami orgasme hebat, tanganku gemetar dan langsung memegang sandaran bangku di depanku. Indun juga kemudian memuncratkan maninya dalam vaginaku. Kami berdua hampir bersamaan mengalami orgasme itu. Setelah agak reda, aku mendorong Indun dan mengeluarkan penisnya. Cepat-cepat Indun memasukkan dalam celananya, dan kuturunkan baju bagian belakangku. Aku dan ibu-ibu itu memutuskan untuk pulang sebelum acara selesai. Untung saja aku dan Indun sudah selesai. Dengan mengedipkan mata, aku menyuruh Indun untuk meninggalkan lokasi. Akhirnya terpuaskan juga hasrat kami setelah hari-hari yang sibuk yang memisahkan kami.